Wow… ESDM Kalah Digugat Parna Jaya Berpotensi Rugikan Negara
Suarabamega25.com – Putusan pengadilan yang memenangkan PT Parna Jaya atas gugatan relokasi minyak gas (migas) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dianggap membingungkan. Vonis itu dianggap berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Kasus itu bermula dari keluarnya keputusan berupa surat menteri ESDM tentang relokasi migas yang awalnya ditindaklanjuti oleh PT HCML melalui perjanjian jual-beli dengan PT Parna Jaya. Namun, dalam perjalanannya, ada permasalahan ketidakmampuan penyerapan, kemudian alokasi yang dijanjikan saat jual-beli itu direlokasi ke perusahaan lain.
“Yang saya tahu, permasalahannya adalah PT Parna merasa relokasi itu merugikan kepentingannya. Ini menjadi eksaminasi karena menarik,” kata Sony Maulana, ahli perundang-undangan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, usai berbicara dalam forum diskusi tentang putusan pengadilan itu di kampus UI Depok, Jawa Barat, pada Kamis 1 Maret 2018.
Pengadilan memang memvonis bahwa PT Parna sebagai pemenang atas gugatan itu. Namun, berdasarkan amar putusan yang dipelajarinya, alasan-alasannya tak kuat. “Ternyata alasan-alasan yang diberikan, yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim begitu sumir,” ujarnya.
Alasan itu, ia ungkapkan karena majelis hakim tidak menjelaskan dengan jelas pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh menteri ESDM saat keluarnya surat tersebut. Begitu pun pelanggaran atas asas-asas umum pemerintahan yang baik apa yang kemudian dilanggar oleh surat menteri.
“Jadi, ya, begitu sumir dan ngambanglah alasan dan pertimbangan yang mendasari putusan tersebut. Putusan itu keluar pada tahun kemarin, 2017,” ujarnya.
Surat menteri perihal relokasi memang tidak ada pengaturannya di dalam peraturan menteri ESDM maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun surat itu bisa dinilai sebagai kewenangan menteri.
“Jadi yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangannya tidak mengatur itu atau pun tidak lengkap pengaturannya. Padahal ada kondisi konkret, faktual yang membutuhkan memang suatu keputusan atau pun tindakan administrasi negara,” kata Sony.
Potensi merugikan negara
Mengenai putusan itu, kata Sony, hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya alam, perjanjian jual beli, perjanjian kontrak kerja sama, sesungguhnya sudah dianggap sebagai aset.
“Sehingga ketika pengadilan memutus ada penundaan terhadap hal itu, berarti ada potensi kerugian negara yang memang akibat putusan penundaan tersebut. Langkah selanjutnya yang dilakukan menteri yang paling mungkin adalah dengan melakukan banding ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” katanya.
“Sebenarnya, buat saya, dalam konteks yang biasa saja, ketika itu dilakukan dengan hati-hati, tepat dan benar, maka sangat wajar pemerintah pun melakukan kesalahan maupun kelalaian. Tapi ini menjadi putusan yang dieksaminasikan, karena ada hal-hal dari sisi akademik yang dianggap belum tepat, dan ini belum inkrah,” ujarnya.
Sumber: viva.co.id
Kasus itu bermula dari keluarnya keputusan berupa surat menteri ESDM tentang relokasi migas yang awalnya ditindaklanjuti oleh PT HCML melalui perjanjian jual-beli dengan PT Parna Jaya. Namun, dalam perjalanannya, ada permasalahan ketidakmampuan penyerapan, kemudian alokasi yang dijanjikan saat jual-beli itu direlokasi ke perusahaan lain.
“Yang saya tahu, permasalahannya adalah PT Parna merasa relokasi itu merugikan kepentingannya. Ini menjadi eksaminasi karena menarik,” kata Sony Maulana, ahli perundang-undangan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, usai berbicara dalam forum diskusi tentang putusan pengadilan itu di kampus UI Depok, Jawa Barat, pada Kamis 1 Maret 2018.
Pengadilan memang memvonis bahwa PT Parna sebagai pemenang atas gugatan itu. Namun, berdasarkan amar putusan yang dipelajarinya, alasan-alasannya tak kuat. “Ternyata alasan-alasan yang diberikan, yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim begitu sumir,” ujarnya.
Alasan itu, ia ungkapkan karena majelis hakim tidak menjelaskan dengan jelas pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh menteri ESDM saat keluarnya surat tersebut. Begitu pun pelanggaran atas asas-asas umum pemerintahan yang baik apa yang kemudian dilanggar oleh surat menteri.
“Jadi, ya, begitu sumir dan ngambanglah alasan dan pertimbangan yang mendasari putusan tersebut. Putusan itu keluar pada tahun kemarin, 2017,” ujarnya.
Surat menteri perihal relokasi memang tidak ada pengaturannya di dalam peraturan menteri ESDM maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun surat itu bisa dinilai sebagai kewenangan menteri.
“Jadi yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangannya tidak mengatur itu atau pun tidak lengkap pengaturannya. Padahal ada kondisi konkret, faktual yang membutuhkan memang suatu keputusan atau pun tindakan administrasi negara,” kata Sony.
Potensi merugikan negara
Mengenai putusan itu, kata Sony, hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya alam, perjanjian jual beli, perjanjian kontrak kerja sama, sesungguhnya sudah dianggap sebagai aset.
“Sehingga ketika pengadilan memutus ada penundaan terhadap hal itu, berarti ada potensi kerugian negara yang memang akibat putusan penundaan tersebut. Langkah selanjutnya yang dilakukan menteri yang paling mungkin adalah dengan melakukan banding ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” katanya.
“Sebenarnya, buat saya, dalam konteks yang biasa saja, ketika itu dilakukan dengan hati-hati, tepat dan benar, maka sangat wajar pemerintah pun melakukan kesalahan maupun kelalaian. Tapi ini menjadi putusan yang dieksaminasikan, karena ada hal-hal dari sisi akademik yang dianggap belum tepat, dan ini belum inkrah,” ujarnya.
Sumber: viva.co.id
Tidak ada komentar: