Rekor Kerugian Negara Terbesar Itu Beralih ke Kasus BLBI
Suarabamega25.com – Awalnya publik menyangka kasus e-KTP adalah kasus korupsi terbesar di Republik ini. Ternyata ada kasus lain yang lebih banyak bikin rugi negara, yakni kasus SKL BLBI.
Di kasus e-KTP, negara merugi sampai Rp 2,3 triliun dari anggaran Rp 5,9 triliun. Kasus e-KTP itu telah bergulir sejak 2011. KPK baru mengumumkan total kerugian negara dalam kasus ini pada 2016.
“Ini termasuk yang besar dan kerugian negara Rp 2,3 triliun itu termasuk yang terbesar yang pernah ditangani KPK. Saya nggak tahu ya apakah ada kasus yang lebih besar dari ini dari sisi kerugian negara. Kalau menurut saya, ini paling besar,” kata peneliti ICW, Tama S Langkun, dalam diskusi bertajuk ‘Sambar Gledek e-KTP’ di Warung Daun, Jakarta Pusar, Sabtu (11/3/2017) lalu.
Ternyata, nilai kerugian negara Rp 2,3 triliun itu bukanlah rekor yang terbesar. Belakangan publik kembali disegarkan ingatannya tentang kasus klasik yang telah dibicarakan sejak lebih dari satu dasawarsa lalu, yakni kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah pemenuhan pembayaran kewajiban, kaitannya saat terjadi krisis moneter 1998. Bank-bank yang menerima BLBI tentu harus membayar kembali bantuan yang sudah diterimanya. Bila sudah membayar kewajiban itu, bank akan diberi surat pemenuhan kewajiban pemegang saham atau surat keterangan lunas (SKL).
Di sinilah letak masalahnya. SKL BLBI seharusnya diterbitkan manakala bank yang bersangkutan telah melunasi kewajibanya. Namun pada kasus BLBI yang melibatkan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), SKL diterbitkan saat pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim masih punya kewajiban Rp 3,7 triliun yang belum dibayarkan.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (Agung Pambudhy/detikcom)
“Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak dan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan,” jelas Basaria di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (25/4/2017) kemarin.
Artinya, berdasarkan keterangan KPK, negara rugi Rp 3,7 triliun gara-gara kasus SKL BLBI. Di peringkat kedua, barulah ada kasus e-KTP yang merugikan negara RP 2,3 triliun. Di bawahnya, ada kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang di Bogor Jawa Barat dengan kerugian negara Rp 464 miliar. Disusul di urutan belakangnya, kasus dugaan korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri yang merugikan negara Rp 121 miliar.
Namun apakah kasus SKL BLBI merupakan yang kasus terbesar yang ditangani KPK? Tentu tak mudah memastikannya. Ketua KPK Agus Rahardjo sempat menyebut ada kasus baru yang ditangani KPK yang indikasi kerugian negaranya lebih besar daripada kasus korupsi proyek e-KTP. Entah, nilainya bisa melampaui kasus SKL BLBI atau tidak, belum diungkap dengan jelas. Saat itu kasus SKL BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung belum dibuka lebar ke mata publik. Agus hanya memastikan, kasus yang dimaksud bukanlah kasus klasik.
“(Kasus) Baru, baru,” jawab Agus dalam sambutannya di acara diskusi panel di auditorium Perbanas Institute, Jakarta Selatan, Rabu (15/3/2017) lampau.
Jelas, rekor-rekor nilai kerugian negara itu tentu bukanlah prestasi yang patut disusul oleh siapapun juga, kecuali diungkap oleh penegak hukum.
sumber: detik.com
Di kasus e-KTP, negara merugi sampai Rp 2,3 triliun dari anggaran Rp 5,9 triliun. Kasus e-KTP itu telah bergulir sejak 2011. KPK baru mengumumkan total kerugian negara dalam kasus ini pada 2016.
“Ini termasuk yang besar dan kerugian negara Rp 2,3 triliun itu termasuk yang terbesar yang pernah ditangani KPK. Saya nggak tahu ya apakah ada kasus yang lebih besar dari ini dari sisi kerugian negara. Kalau menurut saya, ini paling besar,” kata peneliti ICW, Tama S Langkun, dalam diskusi bertajuk ‘Sambar Gledek e-KTP’ di Warung Daun, Jakarta Pusar, Sabtu (11/3/2017) lalu.
Ternyata, nilai kerugian negara Rp 2,3 triliun itu bukanlah rekor yang terbesar. Belakangan publik kembali disegarkan ingatannya tentang kasus klasik yang telah dibicarakan sejak lebih dari satu dasawarsa lalu, yakni kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah pemenuhan pembayaran kewajiban, kaitannya saat terjadi krisis moneter 1998. Bank-bank yang menerima BLBI tentu harus membayar kembali bantuan yang sudah diterimanya. Bila sudah membayar kewajiban itu, bank akan diberi surat pemenuhan kewajiban pemegang saham atau surat keterangan lunas (SKL).
Di sinilah letak masalahnya. SKL BLBI seharusnya diterbitkan manakala bank yang bersangkutan telah melunasi kewajibanya. Namun pada kasus BLBI yang melibatkan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), SKL diterbitkan saat pemegang saham pengendali BDNI Sjamsul Nursalim masih punya kewajiban Rp 3,7 triliun yang belum dibayarkan.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (Agung Pambudhy/detikcom)
“Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak dan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan,” jelas Basaria di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (25/4/2017) kemarin.
Artinya, berdasarkan keterangan KPK, negara rugi Rp 3,7 triliun gara-gara kasus SKL BLBI. Di peringkat kedua, barulah ada kasus e-KTP yang merugikan negara RP 2,3 triliun. Di bawahnya, ada kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang di Bogor Jawa Barat dengan kerugian negara Rp 464 miliar. Disusul di urutan belakangnya, kasus dugaan korupsi pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri yang merugikan negara Rp 121 miliar.
Namun apakah kasus SKL BLBI merupakan yang kasus terbesar yang ditangani KPK? Tentu tak mudah memastikannya. Ketua KPK Agus Rahardjo sempat menyebut ada kasus baru yang ditangani KPK yang indikasi kerugian negaranya lebih besar daripada kasus korupsi proyek e-KTP. Entah, nilainya bisa melampaui kasus SKL BLBI atau tidak, belum diungkap dengan jelas. Saat itu kasus SKL BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung belum dibuka lebar ke mata publik. Agus hanya memastikan, kasus yang dimaksud bukanlah kasus klasik.
“(Kasus) Baru, baru,” jawab Agus dalam sambutannya di acara diskusi panel di auditorium Perbanas Institute, Jakarta Selatan, Rabu (15/3/2017) lampau.
Jelas, rekor-rekor nilai kerugian negara itu tentu bukanlah prestasi yang patut disusul oleh siapapun juga, kecuali diungkap oleh penegak hukum.
sumber: detik.com
Tidak ada komentar: