[EDITORIAL] "Bisik-Bisik"Jangan Kontrak Media Belum Terverifikasi; Pemda Jangan Terpengaruh
Ilustrasi foto. Inilah.com
Bismillahirahmanirrahim.
Alhamdulillah sampai saat ini kita masih diberikan nikmat umur, sehat walafiat.
Shalawat serta salam tetap tercurah ke Haribaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Setiap menjelang awal tahun anggaran bahkan tahun-tahun sebelumnya, ada saja yang mengirimkan link berita ke grup WA daerah, sebut saja grup WA Diskominfo Kotabaru yang di dalamnya ada sejumlah wartawan, bahkan di medsos.
Isi link berita yang dikirimkan tak jauh dari seputar UKW, verifikasi media.
Link-link berita media siber yang dikirim itu terkesan menggiring opini agar Pemda jangan bekerja sama dengan media yang belum terverifikasi Dewan Pers.
Memang, di tahun anggaran baru, waktunya untuk memperoses berkas-berkas kontrak media dengan pihak Pemda. Di daerah lain pun demikian.
Nah. Saat itu lah muncul semacam saling persaingan antar media. Mana-mana media yang dikontrak Pemda.
Untuk urusan ini Pemda yang berwenang memutuskan mau kerja sama dengan media mana.
Saat itu lah muncul semacam upaya mempengaruhi pihak Pemda seolah-olah menunjukan (jual kecap.red),"ini mediaku sudah verifikasi, mediamu sudah terverikasi Dewan Pers apa belum?"
Apakah media yang belum terverifikasi Dewan Pers tidak boleh kerja sama kontrak dengan Pemda?
Melansir dari stŕategi.co.id, Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh menyatakan bahwa Dewan Pers tidak pernah meminta verifikasi media menjadi syarat kerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda).
Dewan Pers tidak pernah mempermasalahkan media yang belum terfaktual selama media tersebut telah berbadan hukum.
Pernyataan Ketua Dewan Pers itu disampaikannya dalam diskusi di Hotel Rattan Inn, Banjarmasin, pada Kamis, 6 Februari 2020, rangkaian kegiatan HPN di Banjarmasin, yang dihadiri sejumlah pimpinan media cetak, elektronik, dan siber (online).
M. Nuh menepis jika media melakukan kerjasama dengan Pemda harus yang terverifikasi oleh Dewan Pers.
“Dewan Pers tidak pernah meminta pemerintah daerah (Pemda) untuk tidak bekerjasama dengan perusahaan media yang belum terfaktual oleh Dewan Pers,” tegas Muhammad Nuh.
Sampai di sini clear dan clean!
Atau kalau belum puas, silahkan konfirmasi langsung ke Dewan Pers di Jakarta.
Kemudian persoalan UKW (lulus uji kompetensi wartawan).
Diakui, penulis memang belum UKW. Bukan tidak mau ikut UKW, tapi sampai saat ini di Kabupaten Kotabaru, Kalsel, belum ada organisasi Pers yang melaksanakan UKW.
Apakah berita yang ditulis wartawan yang belum UKW itu tidak sesuai dengan kaidah penulisan berita?
Kan bukan wartawan yang menilai! Yang kompeten menilai adalah ahli yang ada di Dewan Pers.
Kalaupun salah dalam kaidah penulisan berita dan dipersoalkan orang, nanti ada ahli Dewan Pers yang menilai. Bukan wartawan. Atau media lain. Etikanya kan begitu?
Kita ambil contoh.
Sebut saja kawan kita (alm) M
Yusuf (mudahan diberi tempat yang layak di sisi-Nya). Bukan bermaksud apa-apa, hanya mengambil contoh kasus.
Kita ketahui bersama saat dia masih aktif sebagai wartawan sampai tahun 2017, dia belum UKW dan media tempat dia bekerja pun belum terverifikasi Dewan Pers.
Lalu apakah yang bersangkutan tidak dianggap Dewan Pers ketika ada permasalahkan terkait tulisannya?
Apakah yang bersangkutan dianggap abal-abal?
Saat itu ketika M.Yusuf tersangkut masalah karena pemberitaannya, pihak yang mempersoalkan isi beritanya itu tetap minta pendapat (penilaian) Dewan Pers. Artinya apa? Dia masih dianggap wartawan.
Seorang anggota AJI Kalsel dalam tulisannya yang membahas terkait HPN tahun 2020 ini pun ada menyebut (alm) M Yusuf sebagai wartawan. Artinya dia dianggap.
M Yusuf tetap dianggap wartawan karena dia bekerja di perusahaan media yang berbadan hukum.
Diminta tanggapannya, pada Jumat, 14 Februari 2010, malam, Imi Surya Putra, Direktur Pemberitaan Jurnalisia Online, mengatakan UU Pers nomor 40 tahun 1999 tidak mensyaratkan adanya verifikasi media tapi hanya badan hukum Indonesia, makanya Surat Ijin Terbit (SIT) untuk media itu dihapus terkecuali yang menggunakan ruang publik seperti Radio & TV.
Menurutnya, tidak ada istilah media abal-abal selama media itu memiliki badan hukum Indonesia terutama berbentuk perseroan terbatas (PT).
Anggota IJTI Kalsel ini pun mengatakan, istilah abal-abal itu baru bisa dilekatkan kepada wartawan atau jurnalis yang hanya bermodalkan ID card pers tapi tidak membuat berita sebagaimana wartawan atau jurnalis pada umumnya.
(Baca) UU Pers nomor 40 tahun 1999
Bicara wartawan, kita harus objektif, harus sesuai UU Pers nomor 40 tahun 1999 karena Undang-undang ini sebagai dasar hukum tertinggi bagi pers dan wartawan.
Selain itu dalam melaksanakan tugas, wartawan harus sesuai; kode etik jurnalistik (KEJ), pedoman media siber, code of conduct media masing-masing.
Menyikapi terkait kerjasama kontrak media ini, hendaknya Pemda objektif dan berpikir jernih, jangan terpengaruh pernyataan-penyataan atau "bisik-bisik" (biasanya yang suka bisik-bisik ini iblis) menyesatkan.
Bukan kah pihak Pemda sudah pernah berkonsultasi dengan Dewan Pers terkait kontrak kerja sama media ini?
Dan jawabannya tidak ada larangan kan kerja sama dengan media yang belum terverifikasi.(Ril)
Tidak ada komentar: