KH Wahid Hasyim Santri Tebuireng Salah Satu Pendiri Republik Indonesia
Suarabamega25.com - Kesadaran bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah satu santrinya yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asy’ari yang juga tidak lain adalah anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum Hasyim meninggal, Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO.
KH. Wahid Hasyim pernah diminta pulang ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes Tebuireng jumlah santrinya berjumlah 1500 orang. Semasa kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pesantren tidak melulu diajarkan pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non agama seperti Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda dan Inggris.
Dalam proses belajar KH. Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy) antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya. “Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,” kata KH. Muchit Muzadi (alm) sebagaimana dikutip majalah Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45.
Selain perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid Hasyim juga membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan. Ragam bacaan mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada waktu itu perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan Kementrian Sosial sekarang-red).
KH Wachid Hasyim selain masuk dalam BPUPKI juga pada tahun 1945 masuk sebagai salah satu founding farher (pendiri UII /Universitas Islam Indonesia) . Universitas Islam Indonesia didirikan pada tanggal 27 Rajab 1364 H, atau bertepatan dengan 8 Juli 1945, dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, dan baru dibuka secara resmi pada 10 April 1946 di Yogyakarta.
Menjelang kemerdekaan tahun 1945 di usianya yang masih 23 tahun, ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.
Penggagas sila "Ketuhanan Yang Maha Esa ini menggali rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari bunyi rumusan "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasyim. Pada mulanya rumusan sila pertama tersebut ditolak oleh penduduk Indonesia yang beragama non-muslim, karena tidak hanya umat Islam saja yang ikut berperan dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia, namun dari berbagai pihak. Kemudian Wahid mengusulkan diubahnya sila pertama yang berbunyi "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Wahid memang dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.[6]
Peran dalam perpolitikan Indonesia
Wahid Hasyim menjadi Menteri Negara Republik Indonesia periode 1945–1949.[7] Jabatan ini merupakan hasil penunjukan langsung oleh Presiden Soekarno.[butuh rujukan] Kemudian ia menjadi Menteri Agama selama tiga periode kabinet secara berurutan. Periode pertama yaitu Kabinet Hatta mulai pada 20 Desemnber 1949 hingga 6 September 1950. Periode kedua yaitu Kabinet Natsir sejak 6 September 1950 hingga 27 April 1951. Periode ketiga dalam Kabinet Sukiman mulai 27 April 1951 hingga 3 April 1952.
Pada tahun 1939, Nahdlatul Ulama menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-19 di Palembang pada tahun 1951, Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan Rais 'Aam KH. A. Wahhab Hasbullah.
Setidaknya ada 10 karya tulis yang berhasil dibukukan oleh KH Wakhid Hasyim :
1. Artikel “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik”. Berisi tentang bagaimana sebaiknya mendidik anak dan pengamatannya terhadap Abdullah Ubaid dalam mendidik anak.
2.Artikel “Kemadjuan Bahasa, Berarti Kemadjuan Bangsa”. Berisi tentang cara-cara menumbuhkan rasa kebangsaan dengan mendorong anak bangsa untuk menggunakan Bahasa Indonesia.
3.“Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia”. Merupakan pidatonya pada perayaan Maulid Nabi Muhammad di Istana Negara Jakarta, pada 2 Januari 1950.
4. "Kebangkitan Dunia Islam”. Merupakan tulisannya di media Mimbar Agama edisi No. 3-4 Maret April 1951.
5. "Beragamalah Dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan”. Merupakan semacam pidato untuk perayaan Hari Raya Idul Fitri yang pada saat itu Indonesia masih berbentuk RIS (Republik Indonesia Serikat).
6. “Hari Raya Sebagai Ukuran Maju Mundur Umat”. Masuk dalam Berita Nahdlatul Ulama, No. 3, Th. Ke 7 Desember 1937, hlm 2-5.
7.“Arti dan Isi al-Fatihah”. Masuk dalam Berita Nahdlatul Ulama, No. 14, Th. VII, 15 Mei 1938, hlm 1-3.
8.“Islam Agama Fitrah (Dasar Manusia)”. Masuk dalam Suara Muslimin Indonesia, No. 7, Th. Ke II, April 1944, hlm 2-4.
9.“Latihan Lapar adalah Kebahagiaan Hidup Perdamaian”. Masuk dalam Penyiaran Kementerian Agama No. 4, 1309, hlm 3-4.
10.“Perkembangan Politik Masa Pendudukan Jepang dan Nota Politik". (November 1945). Wafat KH Wahid Hasyim wafat akibat kecelakaan mobil di jalan yang menghubungkan Kota Cimahi dan Kota Bandung. Ia wafat pada tanggal 19 April 1953 di usia 39 tahun. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan untuk mengahadiri rapat Nahdlatul Ulama di Kabupaten Sumedang. Kecelakaan terjadi karena mobil terselip akibat jalanan licin yang disebabkan oleh hujan deras.
Setelah meninggalnya Wahid Hasjim, anak-anaknya diasuh oleh sang istri,Nyai Solichah Wakhid Hasyim yang tengah hamil anak keenam. Anak keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi ikut membantu mengurus adik-adiknya disaat ibunya bekerja.
Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan besar dalam kemajuan negara. Keenam anak beliau yakni KH. Abdurrahman Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi, K.H. Salahuddin Wahid, dr. Umar Wahid, Sp.P, Lily Chodijah Wahid dan Hasyim Wahid.
Anak pertamanya Abdurrahman Wahid pernah menjadi Presiden RI yang ke 4, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid merupakan mantan anggota DPR, Salahuddin Wahid pada masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar Wahid seorang dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.(***) Aji Setiawan, mantan wartawan alKisah Jakarta, Demisioner Sekretaris Komisariat KH Wakhid Hasyim UII Jogjakarta 2000-2002
Tidak ada komentar: