Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Profil Syaikh Zaini Abdul Ghani (Guru Ijai / Guru Sekumpul, Martapura)


Suarabamega25.com, Wali Allah kharismatik Martapura Ia adalah sufi termasyhur, juga sosok Wali Allah kharismatik Martapura, Kalimantan Selatan, yang menyatukan syari’at, tarekat dan hakikat dalam dirinya. Ia lebih dikenal dengan sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul

Zaini Abdul Ghani atau Guru Ijai lahir pada 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 H) di Kampung Tunggul Irang Seberang, Martapura. Ia masih keturunan dari ulama besar Syekh Arsyad Al-Banjari. Di masa kecilnya ia memiliki keistimewaan yakni tak pernah mengalami “mimpi basah” (ihtilam). Pendidikan pertamanya diberikan oleh kedua orang tuanya, Haji Abdul Ghani dan Hajah Masliah binti Haji Mulya, dan oleh neneknya, Hajah Salbiyah. 

Bersama neneknya inilah ia suka sekali membaca al-Qur’an. Pada usia tujuh tahun beliau masuk madrasah di Kampung Keraton, Martapura. Pada masa kecil ini ia belajar al-Qur’an pertama kali kepada Guru Hasan. Orang tuanya, yang tergolong orang sederhana, selalu membekalinya sebotol minyak untuk diberikan kepada gurunya ini.

Sejak usia 10 tahun Guru Ijai telah dikaruniai kassyaf hissi, yakni mampu melihat dan mendengar apa-apa yang tersembunyi atau hal-hal ghaib. Pada usia 14 tahun iadikaruniai futuh (pencerahan spiritual) saat membaca sebuah tafsir al-Qur’an. Pada masa remaja ini pula ia mengalami perjumpaan spiritual dengan Sayyidina Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. Kedua cucu Rasulullah ini masing-masing membawa pakaian dan mengenakannya langsung kepada ia lengkap dengan sorbannya.

Ia melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Datu Kalampian Bangil, Jawa Timur, kepada Kyai Sarwani Abdan yang juga berasal dari Martapura. Di sini ia selain mendapat pendidikan syariat juga mendalami ilmu spiritual. Selanjutnya ia berguru kepada Syekh Falah di Bogor. Selain kepada kedua ulama ini, ia juga mendalami syariat dan tarekat kepada Syekh Muhammad Yasin Padang di Mekah, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Isma’il Yamani, Syekh Abdul Qadir al-Baar, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutby, Allamah Ali Junaidi (Berau) ibn Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad. 

Atas petunjuk Syekh Ali Junaidi, ia kemudian belajar kepada Syekh Fadhil Muhammad (Guru Gadung). Kepada Guru Gadung ini Guru Ijai belajar tentang ajaran Nur Muhammad. ia juga mendapat ijazah Maulid Simthud Durar dari sahabat karibnya, Habib Anis ibn Alwi ibn Ali al-Habsyi dari Solo, Jawa Tengah.

Ia sempat menjadi pengajar di Pesantren Darussalam Martapura selama lima tahun, kemudian membuka pengajian di rumahnya sendiri pada 1970-an, di dampingi oleh seorang kyai terkenal yakni Guru Salman Bujang (Guru Salman Mulya). Pengajian dimulai setiap hari Kamis petang hingga malam Jum’at. 

Pada 1988 beliau pindah ke Kampung Sekumpul, membuka kompleks perumahan ar-Raudhah atau Dalam Regol. Sejak itu kewibawaan dan kharismanya memancar luas – murid-muridnya dan tamu-tamunya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari negeri jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Sebagian datang untuk berguru, sebagian mencari barakahnya, dan sebagian ingin berbaiat Tarekat Samaniyyah. Juga beberapa tokoh nasional menyempatkan diri mengunjunginya, seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati, AA Gym dan sebagainya.

Pengaruh keluarga

Tempaan ayah dan bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil ia sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnya sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun deras, sedangkan rumah Guru Sekumpul sekeluarga sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya menelungkupinya untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.

Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.

Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepadanya. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.

Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah Zaini Abdul Ghani menyampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” 

Pernah sewaktu kecil ia bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Ia langsung berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.

Guru Ijai menikah tiga kali, dan dikarunia dua putra dari istri keduanya, Hajjah Laila, yakni Muhammad Amin Badali al-Banjari dan Ahmad Hafi Badali al-Banjari.


Karamah

Sebagai ulama, Zaini Abdul Ghani dikenal sebagai orang yang amat lembut, kasih sayang, sabar, dermawan dan tekun. Apapun yang terjadi terhadap dirinya, ia tak pernah mengeluh – bahkan pernah ia dipukuli oleh orang-orang yang dengki kepadanya namun beliau tidak mengeluh atau mendendam sama sekali. Ia juga mengajarkan agar orang senantiasa mencintai dan hormat kepada ulama yang baik dan saleh. Hal ini dicontohkan dalam sikapnya: ketika masih kecil beliau selalu menunggu di tempat yang biasa dilewati oleh Syekh Fadhil Zainal Ilmi pada hari-hari tertentu semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan kyai tersebut. 

Jika ada yang mengkritik atau mencaci-maki ajaran tarekatnya, atau mengejek keadaan dirinya, Zaini Abdul Ghani hanya diam, karena ia menganggap mereka adalah orang-orang yang belum mengerti dan memahami. Tamu-tamu yang datang selalu dijamu makanan, termasuk pada waktu pengajian. Tidak kurang dari 3000 orang selalu datang ke pengajiannya dan selalu diberi jamuan makan.

Kedermawanannya ini tampak bukan hanya kepada lingkungan sekitar, tetapi juga ke setiap tempat yang disinggahinya. Salah satu pesannya adalah “Jangan bakhil” karena itu adalah sifat tercela. Zaini Abdul Ghani sering mengutip pesan “pintu surga diharamkan bagi orang bakhil.” Ia juga mengajarkan apa yang disebutnya kaji-gawi, artinya menuntut ilmu dan diamalkan.Salah satu keunikannya dalam berdakwah adalah perhatiannya kepada kesehatan umat. Pada waktu tertentu ia mendatangkan dokter spesialis (jantung, ginjal, paru, mata, dan sebagainya) untuk memberikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai. 

Syekh Zaini Abdul Ghani juga menulis beberapa kitab, di antaranya adalah Risalah Mubarakah; Manaqib as-Syaikh as-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiri al-Hasani as-Saman al-Madani; Risalah Nuraniyah fi Syarhit Tawassualtis Sammaniyah; dan Nubdzatun fi Manaqib al-Imam al-Masyhur bil-Ustadz al-A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alawy.

Beberapa kisah karamahnya diantaranya adalah sebagai berikut. Saat masih di Kampung Keraton ia biasanya duduk-duduk dengan beberapa orang sambil bercerita tentang orang-orang terdahulu untuk mengambil pelajaran dari kisah itu. Suatu saat ia bercerita tentang buah rambutan, yang saat itu belum musimnya. Tiba-tiba ia mengacungkan tangannya ke belakang, seolah-olah mengambil sesuatu, dan mendadak di tangannya sudah memegang buah rambutan matang, yang kemudian ia makan. Ia juga bisa memperbanyak makanan – setelah makan sepiring sampai habis, tiba-tiba makanan di piring itu penuh lagi, seakan-akan tak dimakan olehnya. 

Dikisahkah pula, suatu ketika terjadi musim kemarau panjang, dan sumur-sumur mengering. Masyarakatpun meminta kepada Guru Ijai agar berdoa meminta hujan. Ia lalu mendekati sebatang pohon pisang, menggoyang-goyangkan pohon itu dan tak lama kemudian hujan pun turun. Ia juga dikenal bisa menyembuhkan banyak orang dengan kekuatan spiritualnya.

Beberapa catatan lain berupa beberapa kelebihan Zaini Abdul Ghani adalah dia sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian selalu ditemani. Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke rumah.

Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dalam usia itu pula ia didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat ia langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya ditobatkan.

Pada usia 9 tahun pas malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Zaini Abdul Ghani ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, ia kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang kosong.Ketika Zaini Abdul Ghani merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan menjadi guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.

Meski memiliki karamah, ia selalu berpesan agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).


Meninggal dunia

Sebelum meninggal dunia Guru Ijai sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Tetapi pada hari Selasa malam beliau pulang dan tiba di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, pada pukul 20.30. Keesokan harinya, Rabu 10 Agustus 2005, pukul 05.10 waktu setempat, ia meninggal dunia. Ribuan orang berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir dan mengiringi jenazah beliau hingga ke pemakaman. Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum. 

Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. 

Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00, warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul. (***) Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga Jawa Tengah.



Tidak ada komentar: