Syekh Nahrawi Al-Banyumasi Editor Pengarang Kitab di Hijaz Dari Purbalingga
Suarabamega25.com, Syekh Nahrawi Al-Banyumasi adalah seorang ulama asal Indonesia yang sangat mahsyur di tanah Arab. beliau lahir lahir di Purbalingga pada tahun 1860. Nama aslinya adalah Kiai Mukhtarom. Kemudian tafa’ulan kepada gurunya sehingga namanya menjadi Nahrawi. Nama lengkap beliau adalah "Ahmad Nahrawi Mukhtarom bin Imam Raja Al-Banyumasi Al-Jawi". Biografinya terdapat di kitab A’lamul Makiyyin yang ditulis oleh Syekh Abdullah Muallimi. Ada di entri nomor 1431.
Masa kecil Nahrowi dilewatinya dengan belajar Al-Qur’an dan ilmu agama kepada ayahnya, Kyai Haji Harja Muhammad yang juga dikenal dengan Imam Masjid Darussalam Purbalingga.
Syekh Nahrawi dan saudaranya, Kyai Haji Abu ‘Ammar melanjutkan pembelajaran di Makkah. Saat itu, usia Syekh Nahrawi baru 10 tahun. Namun, Syekh Nahrawi telah memperoleh surat izin mengajar di Masjidil Haram karena ketekunannya dalam mencari ilmu. Beliau bahkan sempat menjadi seorang hakim agung.
Saat itu juga Makkah menjadi pusat peradaban ilmu dengan guru-guru ulama yang sangat mumpuni seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah, Syekh Ahmad An-Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi dan lain-lain.
Sejak itu, Syekh Nahrawi tidak kembali ke Nusantara. Beliau memilih berkarier di Makkah dan guru yang ulung. Berbeda dengan sang kakak, Abu ‘Ammar. Ia pulang ke tanah air dan menjadi Imam Masjid Agung Purbalingga. Kyai Haji Abu ‘Ammar pulang dari Makkah langsung menghidupkan dan memakmurkan Masjid Agung Purbalingga. Masjid tersebut merupakan peninggalan Mbah Abu ‘Ammar dan keluarganya. Sebab, tanah wakaf itu atas nama Kyai Haji Hardja Muhammad yang tidak lain adalah ayah Mbah Abu ‘Ammar .
Kyai Haji Abu ‘Ammar juga dikenal dengan kelapangan dan luwes dalam bergaul. Hal itu dibuktikan dengan kedekatan Mbah Abu ‘Ammar dengan tokoh lintas organisasi, seperti Kyai Haji Hasyim Asy’ari (NU) dan Kiai Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) pernah datang dan berdiskusi di Masjid Kauman semasa Mbah Abu ‘Ammar.
Bahkan Syekh Syurkati, pendiri Al Irsyad Al Islamiyah dari Makkah dikabarkan juga pernah bertandang. Kyai Haji Abu ‘Ammar adalah seorang intelektual muslim yang sangat disegani tidak saja pada regional Banyumas akan tetapi juga nasional. Kancah KH. Abu ‘Ammar di tingkat nasional bisa ditelusur ketika berteman akrab dengan seorang hakim Belanda yang sangat terkenal yaitu Prof. Terrhar.
Diskusi yang intens Kyai Haji Abu ‘Ammar ini dengan Terrhar ini kemudian memunculkan perlunya sebuah peradilan bagi kaum inderland tersendiri yang terpisah dengan landrat yang ada ketika itu.
Peradilan ini hanya diberlakukan buat kaum inderlands yang berhubungan dengan hukum-hukum perdata (Begerlijc Wetbook). Sektor yang diurus oleh peradilan ini meliputi pernikahan, perceraian, hukum waris. Peradilan ini kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama. Peradilan agama ini telah berkembang sekarang sampai keseluruh persada nusantara. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, pengadilan agama ini telah menjadi salah satu dari empat peradilan di Indonesia. Pengadilan Agama telah sama kedudukannya dengan pengadilan umum serta dibawah satu atap Mahkamah Agung. Bahkan kewenangan Pengadilan Agama kini telah meluas tidak saja hal-hal yang berkenaan dengan hukum Perdata tapi juga menerima sengketa pidana yang bersifat syariah.
Menjadi Guru di Makkah
Sementara itu Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi tidak mau pulang ke tanah Jawa. Bahkan oleh Pemerintah Saudi Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru mengajar santri dari berbagai Negara. Beliau Banyak mempunyai murid dan bahkan menjadi hakim agung di Arab Saudi (lihat; Islam transformasi; Azyumardi Azra; Gramedia; 1997).
Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Makkah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya sebelum ada pengesahan dari Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi.
Sehingga bisa dipastikan waktu Syekh Ahmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi ini habis untuk mengkoreksi, mengedit dan mentahshih ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara yang pada waktu itu terkenal sangat produktif menulis karya. Seperti Syekh Mahfudz Al Tremasi, Syekh Soleh Darat, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Kholil Al Bangkalani, Syekh Junaid Al Batawi dan lain-lain. Syekh Nahrowi iabaratnya adalah editor handal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama Nusantara pada masa itu.
Syekh Nahrawi banyak mengoreksi ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara seperti Syekh Mahfudz Al Tremasi dan Syekh Nawawi Al Bantani. Kala itu, para pengarang kitab, terutama yang berasal dari Indonesia, enggan mencetak karyanya sebelum diberi rekomendasi atau taqrizh oleh Syekh Nahrawi.
Kitab tersebut menceritakan tentang Syekh Nahrawi yang dilahirkan di Banyumas dan datang ke Mekkah pada usia 10 tahun. Dalam kitab itu juga dituliskan bahwa ia sangat tekun belajar kepada ulama-ulama Masjidil Haram sampai akhirnya mendapatkan surat izin untuk mengajar di Masjidil Haram. Dalam kitab tersebut juga menurutnya diceritakan bahwa dari tangan Syekh Nahrawi keluar murid-murid yang menjadi ulama besar.
Dalam keterangannya, ada juga kitab lain yang memuat biografi Syekh Nahrawi yaitu Al-Mudarrisun fil Masjidil Haram. Kitab yang ditulis oleh Mansyur An-Naqib itu menurutnya berisi pengajar yang ada di Masjidil Haram dari abad pertama zaman sahabat sampai kitab itu ditulis. “Biografi Syekh Nahrawi terdapat dalam juz 1 halaman 287.
Peran Syekh Nahrawi Banyumas dalam jejaring keilmuan ulama Nusantara sangat besar. ditandai dengan beberapa karangan dan taqridz atas kitab-kitab ulama Nusantara, bahkan Nahrawi merupakan gurunya ulama-ulama Nusantara.
“Habib Luthfi pernah mengatakan bahwa tidak ada karangan ulama-ulama Nusantara di Mekkah yang diterbitkan tanpa ada tanshih atau rekomendasi dari Syekh Nahrawi Banyumas. Guru utama Habib Luthfi bin Yahya yaitu KH Abdul Malik Purwokerto merupakan murid beliau (Syekh Nahrawi),” tambah Ginajar Syakban, penulis buku Laskar Ulama Santri dan Resoulusi Jihad itu.
Keterangan tersebut didukung oleh beberapa karangan dan taqridz Syekh Nahrawi yang disampaikan oleh intelektual Islam Nusantara A Ginanjar Sya’ban di antaranya, kitab Nadzom Risalatul Manasiq atau dikenal dengan Qurotul Uyun Linnasiq Al Muti’ bil Funun. Selain itu, menurutnya Syekh Nahrawi juga mempunyai kitab yang berisi ulasan atau ta’liq terhadap Risalah Kiai Ahmad Zaini Dahlan. Kitab yang berisi tentang ilmu Ballaghah itu menurutnya dicetak oleh Al-Maktabat Taroki Al-Majidiyah di Mekkah pada tahun 1911 M. Saat ini, manuskripnya tertulis milik KH Abdullah Umar Faqih Cemoro Banyuwangi.
Jejak” Syaikh Ahmad Nahrâwî al-Jâwî dalam kata pengantar kitab "al-Durr al-Mandhud" yang menyebutkan adanya sebuah catatan ulasan (taqrîrât) penting atas kitab fikih “Minhâj al-Qawwîm” yang ditulis oleh beliau. Ulasan tersebut berjudul “Taqrîrât Qayyimah ‘alâ Syarh Minhâj al-Qawwîm fî al-Fiqh al-Syâfi’î”. Sayangnya, saya belum berhasil mendapatkan “taqrîrât” tersebut.
Jejak lainnya tentang sosok Kiyai Nahrowi Banyumas saya temukan pada sebuah taqrîzh (endorsment) beliau, dalam kapasitas sebagai editor (musahhih) kitab Fath al-Majîd fî Syarh Jauharah al-Tauhîd karangan Syaikh Ali ibn Umar al-Falimbânî. Kitab tersebut selesai ditulis di Makkah oleh seorang cendikiawan asal Palembang pada tahun 1912 M, dan diterbitkan di Kairo oleh penerbit Maktabah al-Syurûq di tahun yang sama.
Dalam taqrîzh tersebut, tertulis nama “Syaikh Ahmad Nahrâwî ibn Imâm Râjâ al-Jâwî” sebagai musohhih (editor ahli). Nama ayah beliau yang ditulis Imâm Râjâ mengindikasikan sosok Kiyai Harja yang menjadi Imam di Purbalingga. Hal ini menegaskan jika sosok Syaikh Ahmad Nahrâwî al-Jâwî bukan cendikiawan sembarangan, karena tentu saja posisi editor ahli dipegang bukan oleh sosok orang yang kapasitas keilmuan dan kebahasaannya di bawah rata-rata.
Di beberapa kitab karangan ulama Nusantara lainnya yang terbit di Timur Tengah (Makkah dan Kairo), selain nama Syaikh Ahmad Nahrâwî al-Jâwî, saya juga menemukan beberapa nama editor ahli lainnya atas kitab-kitab tersebut, seperti Syaikh Ahmad al-Fathânî (dari Patani, Thailand Selatan), Syaikh Idrîs al-Marbawî (Marbu, Semenanjung), dan Syaikh Ilyâs Ya’qûb (Minangkabau).
Selain itu, ada juga manuskrip tentang fatwa Syekh Nahrawi yang berjudul Risalah fi Hukmin Naqus. Kitab yang sampai saat ini tersimpan di Pesantren Langitan, Tuban itu berisi tentang risalah hukum memukul kentongan yang menjadi tradisi Islam di Nusantara.
Dalam risalah tersebut, Syaikh Nahrowi menceritakan ada seseorang yang menanyakan pendapat Syekh Nahrawi tentang ulama Nusantara baik di barat maupun di timur yang memukul kentongan yang terbuat dari sebilah kayu atau bambu dengan bertujuan untuk memberitahukan waktu masuknya shalat wajib. Tetapi setelah memukul kentongan, adzan, pupujian, dan iqamah pun dilakukan. Selain itu, mereka juga tidak menyukai agama para penjajah. Jadi orang tersebut menanyakan apakah hukum kentongan ini disamakan dengan hukum lonceng yang ada di gereja atau tidak.
Dari pertanyaan itu, jawaban dari Syekh Nahrawi menurutnya sangat moderat.
“Beliau menjawab bahwa ada banyak pendapat dari ulama. Ada yang mengharamkan, ada yang memakruhkan, dan ada yang membolehkan,” tambah Ginanjar Syakban.
Selain itu, yang tidak kalah penting dari jejak peninggalan Syekh Nahrawi menurutnya yaitu Syekh Nahrawi sering memberikan taqrizh atau endorsmen pada kitab-kitab ulama besar waktu itu.
Beberapa kitab yang ditaqrizh yang disebutkannya yaitu Fathul Majid Syarh Jauharatut Tauhid karya Syekh Husain bin Umar Palembang dan fatwa Al-Ajwibatul Makkiyah ‘alal As’ilatil Jawiyyah yang ditulis oleh Syekh Abdullah bin Abdurrahman Siraj pada tahun 1922 M. Kitab yang kedua itu menurutnya berisi jawaban mufti Mekkah terhadap persoalan yang ada di Nusantara. Persoalan tersebut seperti tradisi Nusantara muludan, tahlilan, ziarah kubur.
“Empat tahun sebelum Nahdlatul Ulama didirikan secara resmi, ulama Mekkah itu sudah buat fatwa kalau masalah-masalah tradisi Islam yang ada di Nusantara itu sah dan ada dalilnya,” ujar Ginanjar
Ia juga mengungkapkan bahwa kitab tersebut merupakan dalil yang tak terbantahkan untuk kalangan Aswaja sekaligus menjadi dalil yang mematahkan argumen pihak-pihak yang mana mereka mengaku sebagai pihak-pihak ahlu ijtihad wal istinbat yang langsung mengambil hukum dari Al-Quran dan juga hadits.
“Dalam taqrizhnya, Syekh Nahrawi menulis bahwa mereka ingin mengambil langsung ke Al-Quran dan Hadits seperti Mujtahid tetapi mereka tidak mempunyai syarat-syarat ijtihad itu sendiri. Tetapi karena ideologi yang rusak dan sudah tertancap dan hatinya yang keras itu, mereka tidak mau mendengarkan dalil-dalil yang dituliskan oleh para ulama-ulama yang ahli keutamaan,” tambahnya.
Selain memberikan taqrizh, Syekh Nahrawi juga menulis sebuah catatan atau taqrirat penting atas kitab Fiqih Minhajul Qawwim yang ditulis oleh Syekh Nahrawi Banyumas pada tahun 1908. Kitabnya berjudul Taqrirat Qayyimah ‘ala Syarh Minhaj al-Qawwim fi al-Fiqh al-Syafi’i.
Beberapa karya tersebut adalah Fathul Majid Syarh Jauharatut Tauhid karya Syekh Husain bin Umar Palembang dan fatwa Al-Ajwibatul Makkiyah ‘alal As’ilatil Jawiyyah oleh Syekh Abdullah bin Abdurrahman Siraj. Nah, menurut Syekh Nahrawi, kitab yang ditulis Syekh Abdullah berisi jawaban atas beragam persoalan di Nusantara seperti tradisi tahlil, mauludan, dan ziarah kubur.
Pada Juli 2017 lalu, Komunitas Pegon di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Tengah menemukan karya tulis Syekh Nahrawi. Karya tersebut ditemukan saat mereka memeriksa kardus-kardus berisi kitab peninggalan Kiai Faqih Cemoro. Kitab sepanjang delapan halaman itu merupakan catatan atau taqliq dari Risalah Iti’arat karya Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Makki, seorang mufti Mekah yang menjadi guru Syekh Nahrawi.
Menjadi Mursyid Thariqah
Selain mengasas kitab, Syekh Ahmad Nahrowi juga menjadi Mursyid Thariqah Syadziliyah. Thariqah Syadziliyah muncul secara Besar-besaran di tanah Jawa baru di abad 19 ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air.
Pelopor sastra Melayu modern, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah naik haji jauh sebelum Snouck berangkat ke Makkah, yaitu pada tahun 1854, tidak lama sebelum kapal layar digantikan kapal api.
Selain Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, masih banyak ulama-ulama atau murid-murid mereka yang berasal dari Nusantara yang mukim atau menetap di sana, yang setelah merasa cukup mencari ilmu lalu memutuskan kembali ke kampung halamannya. Mereka yang pulang itu lalu mencatat apa saja yang didengarnya dan dilihatnya di Makkah. Tidak sedikit yang menulis karya tulis ilmiah dan catatan-catatan lain yang sifatnya lebih khusus, seperti biografi atau manaqib yang ditulis untuk kalangan terbatas, untuk murid dan keluarganya.
Salah satu catatan khusus itu ditulis oleh Kiai Muhammad ibn Sulaiman, yang mencatat perjalanan pendidikan ayahnya sendiri, Syekh Sulaiman. Dalam catatan itu ia menyebut Syekh Sulaiman pernah berangkat Haji sebanyak enam kali. Kemudian di Makkah dia mengambil baiat tarekat Syadzili kepada Syekh Shalih Kamal. Lalu ia juga jumpa dengan dua guru tarekat Syadzili yang juga murid dari Syekh Shalih Kamal, yaitu Kiai Idris Jamsaren ulama asal Surakarta/Solo, dan Kiai Ahmad Nahrawi al Makki ulama yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.
Belanda mencatat banyak orang yang telah berangkat ke Makkah tidak kembali lagi. Antara tahun 1853 dan 1858, jamaah haji yang pulang dari Makkah ke Hindia Belanda tidak sampai separuh dari jumlah orang yang telah berangkat haji. Tidak kembali bisa karena memutuskan menetap di sana, atau karena kematian.
Generasi awal adalah KH. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syekh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syekh Shalih, yakni Syekh Ahmad Nahrawi Mukhtarom yang seangkatan dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syekh Muhammad Shalih.
Ulama-ulama Jawa yang berguru thariqah Syekh Nahrowi antara lain KH. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kiai Siroj, Payaman, Magelang; KH. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kiai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Syekh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas.
Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya KH. Ahmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kiai Iskandar (Salatiga).
Perlu diketahui, Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syekh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili Al Hasany, ulama kelahiran Ghamarah. Yakni sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko. Beliau lahir pada tahun 593 H (1197 M) dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M)
Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Beliau mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub .Syaikh Nahrawi Muhtarom Al Makki Al Banyumasi wafat pada tahun 1926 M, pada usia 126 tahun dan di makamkan di Ma'la, Mekkah.(***)Penulis: Aji Setiawan, mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta ..
Daftar Pustaka:
1. Jejak Peninggalan Syekh Nahrawi Banyumas". www.nu.or.id. 2017-10-02. Diakses tanggal 2021-05-18.
2. https://jateng.nu.or.id/tokoh/mbah-abdul-malik-sesepuh-mursyid-naqsabandiyah-khalidiyah-tanah-jawa-1-tMZrz
3. nu.or.id. https://nu.or.id › Kanal Nasional. Jejak Peninggalan Syekh Nahrawi Banyumas - NU Online. 2 Okt 2017
4. Aji Setiawan, Manakib Syekh Ahmad Nahrowi al Banyumasi, 2019.
5. Ryan Rahman, Sayyid Syaikh Nahrowi Muhtarom Al Banyumasi dari Jawa ke Mekkah, Suara Merdeka, Jumat, 25 Februari 2022
6. Aji Setiawan, https://story.cilacap.info › Syekh Nahrawi Al-Banyumasi, Mursyid Tarekat Syadziliyah asal Purbalingga, 17 Jul 2022 — - Story Cilacap.info ...
7. Aji Setiawan, https://www.pelitabanten.com › Indahnya Wisata Religi di Purbalingga - Pelita Banten, 30 Jan 2021 —
8. Aji Setiawan, https://santrinews.com › Tarikh › Melacak Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa - SantriNews, 14 Jun 2015 —
9. Aji Setiawan. https://ejournalpegon.jaringansantri.com › ...PDF, Untitled - The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization
10. Aji Setiawan, Syekh Nahrawi Al-Banyumasi, Mursyid Tarekat Syadziliyah asal Purbalingga,
Story.cilacap.info. 17 Jul 2022 —
11.Bagus Sigit Setiawan, https://langgar.co › Sekali Lagi Perihal Haji | Suluk Kebudayaan Indonesia - Langgar.co. 27 Okt 2018 —
12. Ginanjar Syakban, Ulama Hijaz Dari "Wong Ngapak" Syaikh Ahmad Nahrâwî al-Banyumasi (Kiyai Nahrowi Banyumas) yang "Hilang Terkubur". 03 April 2017.
Tidak ada komentar: