Ridwan Kamil : Kiai Mukhyidin Sosok Pejuang
Suarabamega25.com - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menghadiri Peringatan Haul Emas ke-50 Mama Pagelaran Pondok Pesantren Pagelaran III di Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang, Minggu (18/6/2023).
Ridwan Kamil bersama ratusan santri dan alumni Pondok Pesantren Pagelaran III mengikuti kegiatan Haul Emas dengan khidmat. Setelah melaksanakan Haul Emas, Kang Emil --sapaan Ridwan Kamil-- bercerita tentang jasa sosok KH. Muhyiddin (Mama Pagelaran).
"Alhamdulillah hari ini saya menghadiri acara Haul Emas KH. Muhyiddin, seorang pahlawan yang di era kolonial membela, bertempur, melawan Belanda, kemudian di era DI juga melawan DI/TII, di era PKI juga melawan PKI," ucap Kang Emil.
"Sehingga dalam definisi kiai pejuang, beliau adalah yang nyata memberikan jasa kepada republik ini," imbuhnya.
Kang Emil menuturkan, keturunan Mama Pagelaran sampai saat ini mengurus sembilan pesantren di Jawa Barat. Pesantren Pagelaran merupakan salah satu pondok pesantren tertua di Jabar.
"Kebetulan para keturunannya mengurusi sekarang sembilan pesantren, tentunya pesantren yang Ahlussunnah wal Jama'ah yang tentunya terdepan mewarisi nasihat wasiat selalu dalam agama Islam dan membela NKRI," tutur Kang Emil.
Kepada santri dan para alumni Ponpes Pagelaran III, Kang Emil bercerita bahwa dirinya merupakan cucu dari KH. Muhyiddin. Maka, sebagai gubernur, ia akan berdakwah dengan kebijakan-kebijakan yang menghadirkan kemaslahatan bagi masyarakat.
"Saya kebetulan sebagai gubernur adalah cucu dari KH. Muhyiddin tentu berdakwah sesuai dengan kapasitas, makanya saya sebagai umara berdakwahnya dengan kekuasaan," ucapnya.
Tak lupa, Kang Emil berpesan kepada para santri yang sedang menempuh pendidikan di Ponpes Pagelaran III untuk belajar dengan sungguh-sungguh demi menggapai cita-cita yang diinginkan.
"Para santri kejarlah cita-cita, takdir Allah berbeda-beda kepada kita, tapi semuanya dalam kesantrian. Nanti ada santri ulama, nanti ada santri jadi gubernur, santri jadi pejabat, santri jadi pengusaha. Tapi dasarnya santri kita jadikan Khoirunnas Anfauhum Linnas untuk membawa kebermanfaatan," tuturnya.
Lahir di Kampung Koromoy, Banyuresmi, Kabupaten Garut pada sekitar tahun 1880 M, nasab KH. Mukhyiddin hanya diketahui sampai kakeknya saja yang bernama Eyang Muhammad (Lubis, 2016: 1). Kenapa KH. Mukhyiddin nasabnya hanya diketahui sampai kakeknya saja? Menurut informasi salah satu keturunannya, beliau tidak ingin garis keturunannya dikultuskan sehingga membakar informasi silsilah keluarganya sendiri ke atas. Akhirnya, yang diketahui garis keturunan KH. Mukhyiddin hanya dari sang kakek ke bawah saja.
Semasa kecil, KH. Mukhyiddin dipanggil dengan sebutan kesayangan Aceng Uca. Di masa remaja, dia menimba ilmu keagamaan di salah satu pesantren berlokasi di Cianjur bernama Pagelaran. Hal yang mana nantinya menjadi salah satu versi sejarah bahwa nama pesantren yang didirikannya ini mengacu kepada nama pesantren tempat dia belajar dulu semasa muda di Cianjur. Selesai menimba ilmu di pesantren, Mukhyiddin muda pun pulang ke Garut.
Bupati Sumedang saat itu, R. Aria Soeriaatmadja atau Pangeran Mekah (1883-1919) meminta kepada koleganya bupati Garut R. Adipati Wiratanu Datar VIII (1871-1915) untuk dikirimkan seorang ulama ke sana dengan maksud mengajarkan dan menyebarkan agama Islam di bumi Cadas Pangeran (Kusdiana, 2016: 3). Ketika ditempatkan di daerah Cimalaka, Sumedang, Mukhyiddin mendirikan pesantren yang nantinya dikenal dengan nama Pesantren Pakacangan.
Tahun 1920, Mukhyiddin pindah tempat dari Cimalaka ke Tanjungsiang, Sumedang. Di tempat inilah, dirinya mendirikan pesantren yang nantinya namanya dinisbatkan kepadanya sebagai “Mama Pagelaran”. Setelah lebih dari seperempat abad bermukim mengajar di sana, Mukhyiddin kembali berpindah tempat ke daerah Kauman, Sumedang dan mendirikan Pesantren Pagelaran II di dekade 1950-an.
10 tahun kemudian, di awal tahun 1960, Mukhyiddin kembali hijrah. Kali ini ke Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang. Di sana dia mendirikan Pesantren Pagelaran III. Selain untuk membuat institusi pendidikan keagamaan, di sana juga didirikan pesantren sebagai langkah antisipasi membendung penyebaran paham komunisme. Ada dua pendapat tentang mengapa nama pesantren yang didirikan oleh dirinya dinamai “Pagelaran”.
Pertama, saat dirinya masih berdiam di pesantren Pakacangan, Cimalaka, datanglah seseorang mengabarkan bahwa gurunya di pesantren Pagelaran Cianjur sedang sakit keras. Hendak menjenguk gurunya, namun ternyata takdir berkata lain. Mukhyiddin tidak bisa bertemu dengan sang guru karena beliau keburu wafat. Pulang ke Sumedang dengan bersedih hati, tetiba ketika di suatu malam Mukhyiddin bermimpi bertemu dengan sang guru. Didorong dengan rasa hormat dan cinta kepada gurunya, akhirnya nama pesantren yang didirikan Mukhyiddin diberi nama Pagelaran. Sama seperti pesantren tempat dia di masa remaja menimba ilmu di Cianjur.
Kedua, pendapat lain menyatakan bahwa karena dia sendiri sudah bernama Muhyiddin berarti orang yang menghidupkan (agama), menyiarkan agama, maka pesantrennya harus bernama Pagelaran berasal dari bahasa Sunda, gelar yang berarti menyebarkan, membuka, menyajikan.
Di zaman pendudukan Jepang, Mukhyiddin pernah mengikuti kursus ulama yang diberikan oleh pemerintahan pendudukan Dai Nippon. Hal ini tidak lain adalah maksud Jepang agar mereka bisa mendapat dukungan ulama yang memiliki peran sosial strategis saat itu. Di masa Revolusi Fisik mempertahankan kemerdekaan, Mukhyiddin ikut berjuang dengan santrinya dengan masuk ke Laskar Hizbullah.
Di samping sebagai pimpinan laskar, pembina mental, juga pembimbing rohani, Mukhyiddin juga acapkali menanamkan semangat jihad fii sabilillah salah satunya memberikan wirid khusus bernama Robbi Syiffi untuk para pejuang. Namun, dalam sebuah serangan ke markas tentara NICA (Netherlands Indische Civil Administration) di Ciateul, Bandung, salah seorang putranya bernama Edeng Abdurrahim gugur. Karena sepak terjangnya sangat berpengaruh di kalangan santri-pejuang, maka Belanda memutuskan untuk menjebloskan Mukhyiddin ke penjara Kebonwaru, Bandung dengan tuduhan mengobarkan semangat pemberontakan kepada pemerintah NICA.
Di masa “gerombolan” Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) S.M. Kartosuwiryo, Mukhyiddin membuktikan loyalitas dan kecintaannya kepada Tanah Air dengan menolak bergabung dengan mereka. Menurut salah satu cucunya bernama Kemal Graham, kakeknya ikut terlibat dalam penumpasan gerakan itu bekerja sama dengan Kodam III Siliwangi.
Mukhyiddin juga merupakan sosok ulama yang produktif dalam menulis. Tercatat, dirinya menghasilkan 48 kitab hasil pemikirannya. Beberapa di antaranya adalah Miftahussaadah, Kawajiban Ati, Tarjamah Asmaul Husna, Tarjamah Surat Waqiah, Tarjamah Surat Ar-Rohman, Wawacan Hasan Shoig, Wawacan Nabi Sulaeman, Wawacan Manuk Angko, Wawacan Kakolotan, Nadzhom Pepeling Kabeh Istri, Wiridan Sakabeh, Dangding Kumaha Abdi Nya Syukur, Dangding Dirasa-rasa Ku Kuring, Imam Ghazali Ngandika, Ciri Baleg, dan Jampe Maot.
Mukhyiddin yang juga merupakan kakek Gubernur Jawa Barat saat ini, Ridwan Kamil wafat pada Jumat, 4 November 1973 di usia sekitar 93 tahun,"pungkasnya.(Aji)
Tidak ada komentar: