DEMOKRASI DAN BONUS DEMOKRAFI Oleh: Noorhalis Majid
Suarabamega25.com - Dalam salah satu diskusi, Stenley Adi Prasetyo, wartawan senior dan aktivis sosial kemayarakatan, menyampaikan keraguannya soal keberhasilan bonus demografi. Dia mengatakan, bonus demokrafi tersebut terjadi pada generasi Z, yang lahir antara tahun 1995 – 2010.
Ciri dari generasi ini menurut beberapa sumber penelitian, malas membaca, hanya mampu membaca hingga 6 paragraf, setelah itu akan berpindah pada topik lain. Kalau pun ada yang membaca – satu banding seribu orang.
Hampir 8 jam sehari waktunya habis untuk main game atau hape. Kalau lagi galau, menuliskan segala kegalauan pada media sosial, tidak memecahkannya dengan cara mencari solusi.
Kalau bekerja, sering tidak betah, berpindah-pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Setelah dapat uang, bukan untuk menabung atau beli rumah dan asset – apalagi untuk berkeluarga, tapi digunakan untuk jalan-jalan. Kalau uangnya habis, akan bekerja kembali dan menganggap mencari uang mudah saja.
Kalau saja bonus demokrafi tersebut terjadi pada Generasi X yang lahir pada antara 1960 – 1979, saya yakin Indonesia akan berhasil dan mencapai satu puncak kemajuan yang luar biasa. Sebab Gen X mengalami transisi politik yang pergolakannya menempa mental dan semangatnya.
Generasi ini banyak yang suka membaca – melahap semua buku terbaru dan tentu belum ada pengaruh media sosial. Tekun bekerja pada satu bidang yang diminatinya, sehingga menjadikannya ahli. Penghasilannya digunakan untuk membeli aset dan membangun keluarga, memiliki tabungan untuk hari tua, kata stenley menjelaskan keraguannya.
Bonus demografi tidak dapat ditolak, bahwa jumlah generasi muda lebih banyak dari generasi tua, satu keniscayaan dan hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa.
Lantas, dapatkan demokrasi mengatasi keraguan sebagaimana diungkapkan Stenley? Mungkinkah institusi demokrasi yang kini dikuasai oleh Gen X menyiapkan berbagai antisipasi, menyusun kebijakan dan program, sehingga bonus demografi benar-benar menjadi bonus bukan menjadi persoalan apalagi menjadi petaka demografi.
Tidak ada komentar: