Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Gambang Syafaat Di Semarang


Suarabamega25.com - Cak Nun memang Presiden pengelana. Akhir Tahun 90 an , siap jadi kompor PPP. Memasuki tahun politik, beberapa kali Cak Nun melalui berbagai partai,  bahkan mendampingi beberapa daerah yang sudah hangat Jelang Pilkada. 

Cak Nun menjadi selalu dinanti oleh banyak kalangan di mana saja berada.

Tentu , Cak Nun adalah pribadi yang jangkep, mampu menempatkan dirinya sesuai proporsinya.

Ia adalah sosok multikreatif. Kreativitasnya telah mengantarkan langkah kakinya ke berbagai dimensi kehidupan: santri, gelandangan, dan seniman sastra.

Tanggal 25 Agustus malam, di adakan Gambang Syafaat yang biasa digelar di halaman masjid Baturrohim ,Simpang Lima Semarang,Jawa Tengah.

Malam itu jamaah duduk dengan perasaan bahagia dan bercampur tanda tanya Cak Nun hadirkan?

Nuansa putih mewarnai ribuan orang yang duduk di atas puluhan tikar yang terhampar, sampai ke luar kompleks acara.

Pukul sembilan tepat, acara pun dibuka dengan pembacaan surah Al-Fatihah oleh seorang pria gagah yang juga mengenakan baju dan kopiah putih.

Acara demi acara pun kemudian mengalir dengan lancar. Selawat pembuka, yang diambil dari beberapa syair Maulid Simthud Durar, mengawali prosesi spiritual malam itu. Lantunan syair selawat itu semakin indah saat diiringi irama rancak yang berasal dari perpaduan berbagai alat musik modern dan tradisional. Jemaah, yang sebagian besar pemuda dan mahasiswa, pun segera larut dalam kesyahduan.

Usai beberapa lagu pembuka, acara yang dinantikan jemaah pun tiba. Sang pemimpin kelompok musik asal Jawa Timur tiada lain adalah Cak Nun, namun karena masih sakit dan beristirahat malam ini acara dipandu bergantian oleh Mas Zaki, Imam, Bobot, Novi, Doni. tampak juga Novia Kolopaking (istri Cak Nun) hadir di tengah acara. 

Acara gambang syafaat menjadi ruang berkisah tentang perjalanan panjang Kyai Kanjeng.

 Bergantian, beberapa orang yang hadir menyampaikan unek-uneknya. Terkadang hadirin ger-geran ketika audiens berbicara dengan gaya yang lugu. Maklum, jemaah yang hadir di pengajian rutin bulanan itu memang berasal dari berbagai golongan dan strata sosial.

Sang narasumber, tokoh sentral kita kali ini, adalah sosok yang dikenal multikreatif. Ia melintasi berbagai dimensi kreativitas, diawalinya sejak usia muda, yang membuatnya bisa masuk ke hampir semua golongan. Dialah Muhammad Ainun Najib, yang lebih dikenal dengan Emha Ainun Najib atau Cak Nun.

Berbagai predikat, seperti budayawan, kolumnis, seniman, bahkan kiai, kini kerap dinisbatkan kepada pria yang mengaku mengawali segalanya dengan keterbatasan-keterbatasan yang melingkarinya. Sebuah proses panjang yang, menurutnya, berliku.

Dikenal memiliki stamina ketekunan dan keuletan yang menggebu-gebu dalam mengatur energi kebaikan, suami Novia Kolopaking ini mampu tetap eksis dalam berbagai geliat kehidupan. Ia bahkan mampu mewarnainya secara langsung dengan arif.

Santri Gelandangan

Lahir pada 27 Mei 1953 di Menturo, Jombang, Jawa Timur, Emha adalah anak keempat dari lima belas bersaudara. Ayahnya, Muhammad Abdul Lathif, seorang petani dan kiai surau, sering menjadi muara keluh kesah masyarakat di sekitarnya. Begitu pula dengan ibunya, Chalimah.

Emha menjalani hampir seluruh episode awal kehidupannya di dusun kecilnya, Menturo. Ia bersyukur menjadi anak desa, yang memberinya pengalaman dan pelajaran tentang kesederhanaan, kewajaran, dan kearifan hidup.

“Saya banyak belajar dari orang desa yang berhati petani. Mereka makan dari hasil yang ditanam. Semuanya berdasarkan kewajaran, kerja sebagai orientasi hidup, tak pernah mempunyai keinginan menguasai atau mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Mereka tabah meskipun ditindih penderitaan,” kata Cak Nun.

Setamat SD, Emha melanjutkan ke Pondok Pesantren Gontor. Namun, di pesantren yang diasuh oleh K.H. Imam Zarkasyi itu ia hanya bertahan selama dua setengah tahun. Emha, yang sejak kecil dikenal kritis, melancarkan aksi protes terhadap ketidakadilan petugas keamanan pondok, sehingga “diusir” dari Pondok Pesantren Gontor.

Pengalaman dua setengah tahun di Gontor, tampaknya begitu berkesan bagi Emha, yang memang dibesarkan dengan kultur santri. Sekelumit pengalaman itu pula yang kelak kerap mewarnai berbagai karyanya yang sarat kritik sosial, lugas tapi sufistis.

Keluar dari Gontor, Emha lantas hijrah ke Yogyakarta, kota yang membuka peluang bagi pengembangan kreativitasnya. Usai menamatkan pendidikan menengah di SMA Muhammadiyah I pada 1969, ia juga sempat masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Namun setelah kuliah empat bulan, pada hari kedua ujian semester I, ia keluar.

Gejolak jiwa seniman Emha, membawa langkah kakinya ke “Universitas” Malioboro. Sepanjang kurun 1970-1975, ia menggelandang hidup di komunitas Maliboro. Ia bergabung dengan kelompok penulis muda Persada Studi Klub, yang ka

la itu diasuh oleh “mahaguru” Umbu Landu Paranggi. Saat itulah pengembaraan sosial, intelektual, kultural, maupun spiritual Cak Nun memasuki babak baru, berkarya.

Nama Emha mulai dikenal orang, saat tulisan-tulisannya yang berupa esai, puisi, dan cerpen, bertebaran di berbagai media massa. Waktu yang hampir bersamaan ketika ia mulai rajin mementaskan pembacaan-pembacaan puisinya bersama Teater Dinasti pada tahun 1980-an.

Selepas bergulat panjang di “Universitas” Malioboro, dekade ’80-an, sering dianggap sebagai periode produktif Cak Nun. Dalam rentang waktu tersebut, ia melahirkan beberapa antologi puisi, di antaranya Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1977), Cahaya Maha Cahaya (1988), Syair Lautan Jilbab (1989), dan Suluk Pesisiran (1990).

Kini, setelah 30 tahun berkarya, Emha Ainun Nadjib telah mela­hirkan lebih kurang 25 antologi puisi yang berisi sekitar 800 judul puisi. Ciri khas puisi karyanya adalah kandungan protes sosial, sosio-religius, dan mistik Islam. Di luar puisi, Cak Nun, bersama Halim H.D., “pengasuh” jaringan kesenian Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa repertoar serta pementasan drama.

Di antara karya fenomenalnya adalah drama kolosal Santri-santri Khidhir, yang dipentaskannya bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor, dengan seluruh santri menjadi pemain, dan Lautan Jilbab, yang dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya, dan Makassar, tahun 1990.

Emha sebenarnya lahir bukan dari kultur “penyanyi”, ia lebih tepat sebagai pemikir dan penulis serba bisa. Sejak muda ia gandrung menulis puisi, cerpen, naskah drama, makalah, dan esei (kolom). Tahun 1977-1978, tulisan-tulisannya sudah sering dimuat di harian Kompas. Juga di rubrik kolom di majalah Tempo pada tahun 1981. Bisa dibilang, waktu itu ia termasuk salah satu penulis termuda yang mampu menembus ketatnya seleksi dua media terbesar di tanah air tersebut.

Di antara sekian banyak tulisannya, jenis esei merupakan salah satu yang menonjol dan banyak dibukukan. Hingga tahun ini, tulisan-tulisannya yang terserak di berbagai media itu telah dikumpulkan menjadi lebih dari 30 buku.

Tulisan Cak Nun yang ekspresif memang mempunyai kekuatan untuk disukai. Ada banyak cara yang digunakan buat mengekspresikan “dirinya” ke dalam jagat kata, yang membuat pembacanya kerap ikut terbawa mangkel, geli, tertawa, berduka, marah, atau terbakar.

Dalam hal ini Emha pernah berpendapat, jika seseorang ingin menghadirkan suatu karya, ia harus meyakinkan diri bahwa salah satu penikmatnya adalah dirinya sendiri. Dan jadilah orang banyak. Artinya, pada saat yang bersamaan, agar karya bisa dinikmati oleh orang banyak, ia juga harus rela untuk menjadi siapa saja.

Tentu saja ilustrasi tersebut tidak mengatakan bahwa Emha cukup sukses mengatasi persoalan tersebut. Tetapi paling tidak untuk perspektif linguistis, karyanya memang memiliki “kelebihan” tertentu; dengan bahasanya yang padat, lugas, rileks, nakal, imajinatif, dan cerdas.

Pada kurun waktu selepas Orde Baru jatuh, produktivitas Emha tampak mulai menurun. Keadaan itu berlangsung sekitar tiga tahun. Hal ini tentu saja menggelisahkan teman-temannya, jangan-jangan Emha akan mengalami masa aus. Seperti mesin, secanggih apa pun, lambat laun ia akan menghadapi suatu masa yang tak bisa dipakai lagi. Dengan tersenyum Emha mengatakan, “Manusia kan sama sekali bukan mesin.”

Kegelisahan atau mungkin juga asumsi di atas sering tidak sesuai kenyataan. Bukankah, dalam dunia pemikiran, makin matang usia, makin kreatif dan produktif pula seseorang?

Ia merasa, apa yang selama ini dapat dilakukannya tidak lepas dari kealamiahan yang Allah anugerahkan. Otak, yang dibantu akalnya, secara alamiah mengolah gagasan yang muncul dengan sendirinya, yang kemudian menghasilkan sebuah karya. 

Kyai Kanjeng diterima oleh semua kelompok dan kalangan masyarakat di mana pun.

Adapun jemaahnya di berbagai wilayah Nusantara yang rutin dikunjungi Kyai Kanjeng, antara lain, jemaah “Padang Bulan” tiap pertengahan bulan (15 malam 16, bulan Jawa) di Menturo, Jombang, Jawa Timur; jemaah “Mocopat Syafaat” tiap tanggal 17 malam di Ponpes Az-Zaituna, Tamantirto, Kasihan Bantul, Yogyakarta; jemaah Maiyah, tiap akhir pekan, sistem giliran (infak) di seluruh pelosok Yogyakarta; jemaah “Gambang Syafaat” di Semarang; 

“Pengajian Izroil” di Wonosobo, Jawa Tengah; “Papparandang Ate” di Sulawesi Selatan; “Haflah Shalawat” di Surabaya; “Tombo Ati” di Malang, Jawa Timur; jemaah “Kenduri Cinta”, tiap Jumat malam, minggu kedua, di halaman Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, atau plaza Universitas Paramadina di Pancoran, Jakarta Selatan, tiap Sabtu malam, minggu kedua. Perubahan jadwal biasanya diinformasikan melalui milis kenduricinta atau website resminya, www.padhangmbulan.com. www.caknun.com. Di satu malam sambil memijit tubuhnya yang kekar , "Wis to, tulis wae, engko tulisane jadi sendiri..." kata Cak Nun berpesan pada penulis di malam dini hari jelang Subuh tiba,"tutupnya.(Aji)

Tidak ada komentar: