Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Haul Habib Salim bin Ahmad Jindan dan Habib Novel bin Salim bin Ahmad Jindan


Suarabamega25.com, Tangerang - Tanggal 29 Oktober 2023 mendatang, Haul Habib Novel&Habib Salim bin  Ahmad Jindan sekaligus Maulid Akbar Nabi Muhammad akan digelar di Ponpes Al Fachriyah, Jl Prof Buya Hamka No 1, Kampung Gaga, Larangan Selatan, Ciledug Kab Tangerang ,Banten.


Habib Salim bin Ahmad Jindan adalah Singa Podium Betawi pada jamannya, pejuang kemerdekaan dan sekaligus pendakwah yang tak kenal lelah di masalah sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan.

Habib Salim, ulama keturunan Rasulullah SAW kelahiran Surabaya 18 Rajab 1324 H atau 7 September 1906 M ini memiliki nama Asli Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan yang bersambung nasabnya sampai Nabi Muhammad SAW. Ulama yang dijuluki 'Gudang Ilmu' pada zamannya ini merupakan murid Syaikhuna Kholil bin Abdul Mutolib yang masyhur dengan sebutan Mbah Kholil Bangkalan. Al-Habib Salim juga berguru dan mengambil sanad ilmu kepada Imam Ahmad bin Zaini Dahlan, Habib Alwi dan Muhammad Al Haddad dan Habib Abu Bakar bin Muahmmad Assegaf. Kedua habib terakhir ini adalah guru yang paling berkesan di hati beliau.   Salah satu guru beliau yang lain adalah Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi yang di hadapannya lebih dari 200 kitab beliau baca dan kaji. Masih banyak lagu guru beliau, lebih dari 400 ulama dunia dan 200 ulama Nusantara diambil ilmu dan sanadnya oleh beliau.    Kesungguhan dan kecintaan Habib Salim dan Jindan terhadap ilmu dibuktikan juga dengan koleksi kitabnya dalam perpustakaan pribadi yang berjumlah sekitar 15.000 kitab, terdiri dari kitab mu’tabaroh maupun kitab kitab langka. Beliau juga mengarang sekitar 100 kitab dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang sejarah dengan judul Kitab I’laam Ahli Ar Rusukh Bi Anbaa’I A’laam Asy Syuyukh sejumlah 4 jilid; Kitab Ithaaf An Nabiil Bi Akhbaar Man Bi Jazair Al Arakhbiil 2 Jilid, I’laam Al Baraaya Bi A’laam Indunusia 3 jilid; Muluk Al Alawiyyin Fi Asy Syarqil Aqsha 2 jilid; Tarikh Dukhul Islam Ila Jazair Indunusia membahas tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara dan tentang kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, serta tentang sejarah dan biografi tokoh-tokoh Nusantara.   Siapa pun yang membaca kitab-kitab beliau akan tumbuh rasa nasionalis dan cinta Tanah Air yang luar biasa. Beliau juga menulis kitab dalam bidang hadist. Terdapat lebih dari 50 judul kitab besar, salah satunya adalah Kitab Raudhah Al Wildan terdiri dari 8 jilid besar yang berisi hadist-hadist Nabi Muhammad SAW. Beliau juga terkenal sebagai ulama ahli nasab. Beliau menulis puluhan kitab tentang nasab. Antara lain Kitab Mu’jam Al Awadim 16 jilid, yang mana jilid 1 saja sudah 1200 halaman; dan Kitab Ad Durr wa Al Yaquut 7 Jilid. Kealiman beliau tidak hanya masyhur di Indonesia, tapi juga terkenal di seluruh dunia. Bahkan ulama dunia yang juga guru beliau Muhaddits Al Hijaaz Al 'Allamah Asy Syeikh Umar bin Hamdan Al Mahrasi Al Jazairi. Dalam naskah ijazah beliau kepada Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Asy Syeikh Umar bin Hamdan Al Mahrasi Al Jazairi menulis, "Sesungguhnya aku telah memberikan ijazahku untuk As Sayyid  yang sempurna Salim bin Ahmad bin Jindan."   Kemudian, guru beliau yang lain Al 'Allamah Mufti Johor Al Habib Alwi bin Thohir Al Haddad. Dalam naskah ijazah kepada Al Habib Salim beliau menulis, "Sesungguhnya telah meminta kepadaku Ijazah As Sayyid yang terhormat, teguh dalam berprinsip, yang ditalqinkan baginya ilmu, yang diberi ilham yang agung dari Allah, seorang yang memiliki hafalan yang sangat kuat, yang selalu meneliti danmengkritisi ilmu, yang setiap hari selalu datang dan memenuhi hidupnya untuk memikirkan ilmu yaitu As Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan." Maka dalam dunia ilmu beliau dijuluki Al Muhaddist (Ahli Hadist), Al Musnid (Ahli Sanad), dan Al Muarrikh (Ahli Sejarah).   Berjuang untuk Indonesia Tenggelamnya hati beliau dalam lautan ilmu tidak melupakannya untuk memikirkan negara dan berjuang berjuang untuk kemerdekaan negaranya. Pada 1940 beliau hijrah ke Jakarta . Beliau membuka beberapa majelis ilmu di beberapa daerah. Selain berdakwah beliau juga menjadi pejuang terdepan untuk kemerdekaan Indonesia, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda, dengan tenaga, fatwa dan pidatonya yang berapi-api.   Oleh sebab itu ulama yang ahli berdebat dan orator ulung ini pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda. Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa, dipukul, ditendang dan bahkan disetrum. Namun, itu semua tidak melunturkan semangatnya dalam berjuang dan berdakwah, demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran ia tetap tabah, pantang menyerah.   Salah satu prinsip utama yang beliau teguhkan dalam hati adalah hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman. Ketulusan beliau dalam berjuang untuk kemerdekaan sama sekali tanpa pamrih. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk dikenang atau dihargai, beliau tidak pernah memikirkan apakah akan dijadikan Pahlawan Nasional atau tidak. Karena  beliau melakukan itu semata-mata karena lillahi Ta’ala dan kecintaanya pada negerinya.   Dikutib dari buku 45 Habaib Nusantara dijelaskan bahwa setelah Indonesia benar-benar merdeka dan aman, beliau kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia pun kembali sibuk berdakwah di seluruh pelosok Nusantara, bahkan majelis dakwahnya meluas ke mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Kamboja, dan negara lainnya.   Selain berdakwah, dalam perjalanannya selalu cermat dan tekun mengumpulkan sejarah perkembangan Islam di daerah, misalnya di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Catatan itu kemudian ditulis dalam kitab-kitabnya. Siapa pun yang membaca akan semakin mengetahui sejarah perjuangan dan islam, sehingga akan membuat pembacanya semakin cinta Tanah Air.   Bukti nasionalisme lain dari beliau adalah dapat dilihat dari berbagai karyanya yang selalu menambahkan 'Al-Indunisiy' di akhir namanya. Nama beliau selalu tertulis dengan kalimat Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawiy Al-Husainiy Al-Indunisiy.   Dengan kepiawaian beliau dalam berdakwah, Islam kelihatan sangat sejuk dan damai. Karena itu banyak orang non-Islam yang akhirnya memeluk Islam dengan wasilah setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim Habib Salim dan mendegarkan ceramahnya.   Selain mendakwahkan Cinta Tanah Air, ada dua hal lain juga yang paling beliau dakwahkan, yaitu tentang pentingnya meninggalkannya yaitu pornografi dan kemaksiatan.   Beliau wafat di Jakarta pada 16 Rabiul Awal 1389 H atau 1 Juni 1969 M. Ketika itu ratusan ribu kaum Muslimin dari berbagai pelosok negeri dan dunia. Jasadnya dimakamkan di dalam kubah di kompleks pemakaman  al  Hawi,Condet , Cilitan Jakarta Timur.

Penerus  dakwah  Habib  Salim yakni  Habib Shalahudin (Otista ,Kampung  Melayu) sekarang taklim diasuh oleh Habib  Salim bin Shalahudin  Salim Jindan. Sementara  Habib Novel Salim Jindan (Ciledug  Tangeramg).

Habib  Novel

Sedangkan Habib  Novel bin  Salim  bin Ahmad  bin  Jindan   Husain  bin soleh bin Abdullah bin Jindan  bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin   Syaikhon   bin   Asy  Syeikh   Abi  Bakar   bin   Salim   bin   Abdullah   bin Abdurahman bin Abdullah bin Asy Syeikh Abdurahman As Seggaf bin Muhammad Maula Ad Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghuyyur  bin Al  Ustadz   Al   A’dzom  Al  Faqih   Al  Muqoddam  Muhammad  bin   Ali  bin Muhammad Sohib Al Murbath bin Ali Khola’ Qosam  bin Alwi bin Muhammad Maula  Showma’ah  bin Alwi bin Ubaidillah  bin Ahmad  Al Muhajir bin Isa  Ar Rumi bin Muhammad An Naqib  bin Ali Al ‘Uraidhi bin Ja’far As Shodiq  bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain  bin Ali bin Abi tholib dan  bin Fathimah Az Zahra binti Rasulullah Muhammad  Shallallahu alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan  adalah guru yang utama dan  pertama  bagi  kedua  anaknya yaitu;  Habib  Jindan   dan  Habib  Ahmad.

Habib  Ahmad  berkata,  “Kalau bukan  karena  didikannya, maka  entah  menjadi bagaimana keadaan Saya.”  Habib  Novel lahir pada  hari Sabtu  pagi, tanggal 2 Rabi’uts Tsani tahun  1361  H bertepatan dengan  tanggal 18 April 1942  M, di Bidara  Cina  Otista  Jatinegara, Jakarta. Habib  Novel  ada  sosok  yang  sangat sayang   dan   berbakti   kepada  ibu  dan   ayahnya.  Ibu  Habib   Novel  adalah Syarifah Aisyah  binti  Habib  Usman  bin  Abdullah Syatho.   Al  Habib  Usman adalah salah seorang  ulama dari Makkah yang datang  ke Sulawesi untuk berdakwah dan  kemudian menikahi  salah seorang  wanita  berdarah biru dari Bugis hingga  lahir dari perkawinan tsb Syarifah Aisyah binti Al Habib  Usman Syatho.

Habib Ahmad bin Novel berkomentar tentang  bakti Sang Ayah kepada ibunya,  “Karakter  yang  Saya  ketahui  dari  Ayah  Saya  adalah kepatuhannya kepada ibunya.  Tidak  pernah   berucap   kata  ‘Tidak’  kepada ibunya.  Hingga wafat sang  ibu pada  tahun  1990  atau  1991.  Hal tersebut,  sebagaimana bakti beliau  yang sangat  luar biasa  kepada sang ayah,  Habib  Salim bin Ahmad  bin Jindan.” Sejak kecil Habib  Novel dididik dengan  adab  oleh Sang Ayah, Habib Salim. Habib Novel selalu mendampingi sang ayah.

Sekitar  tahun  1967,  Habib  Novel berangkat   ke  Hijaz (Makkah),  dan tinggal di sana  selama  kurang  lebih 2 tahun.  Habib  Novel menimba ilmu dari para  ulama yang ada di sana,  diantaranya As Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki. Al Walid sangat  disayang  oleh As Sayyid Alwi hingga dipersaudarakan dengan putranya Al Muhaddits  As Sayyid  Muhammad bin Alwi bin  Abbas  Al Maliki. Sebagaimana  beliau   juga   menimba  ilmu  dan   dekat   dengan  As  Sayyid Muhammad  Amin  Kutbi,  Asy  Syeikh   Hasan   Masysyaath   dan   ulama  Al Haramain yang Saat itu berada di sana.

Selain  berguru  dengan para  habaib  dan  masyaikh  di Mekah,  Habib Novel  juga  berguru  kepada Habib  Ali  bin  Abdurahman Al Habsyi  Kwitang, Habib  Ali bin Husain  Al-Attas Bungur,  Habib Muhammad bin Ahmad  Haddad Al-Hawi,   dan   senantiasa  mendampingi   mertua    beliau   sekaligus   berguru kepadanya Habib  Muhammad bin  Ali  bin  Abdurahman Al-Habsyi  Kwitang, dan  beliau  juga  berguru  dari  para  ulama lainnya. Bahkan  hampir  sebagian besar  guru-guru  Habib  Salim bin Ahmad  bin Jindan  adalah guru  bagi  Habib Novel. Sebab  Habib  Salim setiap kali meminta  Ijazah dari para  gurunya  selalu memintanya juga untuk anak dan keturunannya.

Habib   Salim   berniat   untuk   pindah   ke   Makkah   bersama  seluruh keluarga  besarnya, sehingga  Habib  Novel menunggu kedatangan beliau  dan mempersiapkan segalanya,  namun  karena  beberapa kepindahan Habib  Salim tidak   terwujud   dan   batal.   Ketika  Habib   Novel   mendapat  kabar   bahwa kepindahan ayahnya batal, beliau bergegas  untuk pulang ke indonesia  karena khawatir  akan  keadaan ayahnya. Setibanya  di indonesia  sang ayahnya sangat gembira  dan  bahagia  menyambutnya. Habib  Novel pernah  bercerita  kepada Habib  Ahmad,   bahwa   beliau  sama-sama  berdakwah dengan  Habib  Salim, sang   ayah,   saling  bahu-membahu  bersama  para   habaib   dan   para   ulama lainnya.

Suatu  ketika,  seseorang  mengundang Habib  Salim  dan  Habib  Novel agar  keduanya berceramah di suatu  acara.  Pada  waktu  yang  sama  ditempat yang lain, seseorang  pun mengundang keduanya sehingga Habib Salim mengatakan kepada Habib  Novel, “Engkau  (Habib  Novel) sekarang  ke acara yang di sana sedangkan aku di acara  yang di sini, setelah engkau  selesai maka bergegas  untuk  hadir  di acara  yang  di sini sedangkan aku  akan  beranjak  ke acara  yang  di sana.”  Habib  Abdul Qodir  bin  Muhammad Haddad  Al  Hawi bercerita   bahwa   pernah   dalam  suatu   acara   mauled,  Habib   Novel  diminta berceramah di hadapan ayahnya Habib  Salim,  dan  saat  itu hadir  pula para habaib  dan ulama lainnya. Setelah berceramah, sang ayah  Habib Salim berdiri dan  mengatakan dengan  bangga,  “wahai  Hadirin,  beginilah  para  Habaib  dan keluarga Rasulullah SAW, mereka  bagaikan  pohon  pisang, tidak mati induknya melainkan  setelah tumbuh  sempurna anaknya”.

Suatu   hari   dalam   sebuah    kesempatan  Habib   Salim   melepaskan Imamah yang beliau pakai  dan  beliau letakkan dan  pakaikan  di kepala Habib Novel bin Salim bin Jindan. Habib  Salim bin Ahmad  bin Jindan  Wafat pada Malam senin tahun  1969.  Dan meninggalkan putra  pitri yang solih dan solihah yang  bertaqwa   kepada Allah.  Dan  tidak  lama kemudian Al Walid  menikah dengan  ibu  kami  putri  Al  Habib  Muhammad  bin  Ali bin  Abdurahman  Al Habsyi.

Seluruh   hidup   beliau   hanya   untuk   berbakti   kepada  kedua   orang tuanya,  hanya  untuk berdakwah dan berjuang  di jalan Allah hingga akhir hayat beliau.

Dorongan beliau kepada putra putrinya untuk menempuh jalan agama, dakwah  di jalan Allah, sangat  kuat sehingga  beliau kirim semua  anak-anaknya untuk  menimba  ilmu.  Dan  setiap  anak  dari  mereka   saat  berangkat,  beliau selalu  berpesan  kepadanya  dengan  apa   yang  di  katakan   oleh  ibunda   Asy Syeikh Abdul Qodir  Al Jailani saat  berpisah  dan  melepas  anaknya menimba ilmu, wahai anakku,  belajarlah bersungguh-sungguh dan jangan pernah  berfikir kembali   dan   berjumpa,   sebab   aku   akan   menunggumu  di  depan  telaga  Rasulullah SAW di hari kiamat.  Kata-kata  ini sangat  membekas di lubuk hati anak-anaknya yang  tercinta.  Harapan ini Allah wujudkan  untuk  beliau  ketika putra  tertua  beliau  wafat  saat  menimba  Ilmu  kepada Habib  Zain bin Ibrahim bin  Sumaith   di  Madinah   Al Munawwarah,  dan   kemudian  dimakamkan  di Makkah.

“Saya  masih  selalu  teringat  Saat  saya  masih  kecil  di  waktu  Dhuha ketika saya  berada di kamar,  dan  saya mendengar dari kamar  Al Walid suara beliau  yang  lantang yang  sedang  mengulang-ulang hafalan hadits  beliau  dari kitab Riyadhus  Solihin, kenang  Habib  Ahmad.  Saya  mendengar bahwa  beliau hafal  kita  Riyadhus  Solihin karya  Al Imam An Nawawi.  Sebagaimana saya masih  mengingat   bahwa   sebagian   besar  waktu  beliau  ketika  bersama kami selalu membawakan cerita  para  awliya dan  salaf solihin dari  keluarga  Al Ba Alawi.” Beliau ketika menghadiri  acara  maulid atau  majelis,  selalu mengajak semua  atau sebagian  anak-anak beliau untuk mendampinginya.

Habib  Ahmad  bercerita,  “Ketika beliau  melihat  saya  di kamar  suatu hari   sedang   memegang  kitab  Maulid  Simtud   Durar,   beliau  gembira   dan bahagia  dan  menghampiri saya  kemudian duduk  bersebelahan dengan saya. Dan  menyemangati saya  untuk  melancarkan bacaan suatu  fashal dari  kitab maulid tersebut,  yaitu Fashal sebelum Qiyam dan  Fashal sebelum doa  maulid. Setelah  saya  lancar, setiap kali ada  acara  maulid, beliau memerintahkan saya untuk tampil dan membaca Fashal maulid tersebut.”

Habib   Ahmad   bercerita,   “Sepulangnya  saya  dari  Hadramaut,  saya selalu  mendamping  beliau   bersama  kakak  saya   Habib   Jindan   bin  Novel. Hingga  beliau wafat pada  hari jumat  jam 17.00  tanggal 3 Juni tahun  2005  M bertepatan pada   tanggal  25  Rabiuts  Tsani  tahun   1426  H.  Saat  itu  telapak tangan  kanan  beliau berada di telapak tangan  saya, dan ibu saya mentalqinkan beliau,  dan  adik-adik  saya  berada di kaki beliau,  sedangkan kakak  saya  Al Habib  Jindan  sedang  mewakili beliau berdakwah di Singapura di Masjid Ba Alawi dalam acara Haul Imam Habib Muhammad bin Salim Al Attas.”

Pernah  suatu kali wartawan  suatu majalah islami berkunjung  ke rumah Habib  Novel untuk  mewawancara kami dan  Al Walid. Salah  satu  pertanyaan mereka  kepada Al Walid adalah, Apa cita-cita Habib  Novel untuk umat  islam?

Kerena bekas  stroke sehingga  beliau berbicara  terpatah-patah, namun  saat  itu beliau  menjawab  hanya   dengan  isyarat  tangannya  yang  sangat membahagaiakan kami  semua.  Beliau  menunjuk  kepada Kakak saya,  Habib Jindan  dan  kepada saya Ahmad,  serta anak-anak beliau yang lainnya. Seakan beliau mengatakan, “Merekalah cita-cita dan  persembahan Saya  untuk umat.” Habib Novel lebih disibukkan oleh kegiatan dakwah,  sehingga setelah wafatnya beliau  tidak  menulis  karya  intelektual.  Adapun   dalam  bentuk  karya  sosial, Yayasan  Al-Fakhriyah  dan  berbagai  aktifitas sosial di dalamnya adalah bukti keikhlasannya dalam pengabdian kepada Allah SWT.

Penerus dakwah dari Habib Novel saat ini yakni  Habib Jindan dan Ahmad bin Novel bin Salim Jindan (Aji S)

 

Tidak ada komentar: