Haul Habib Salim bin Ahmad Jindan dan Habib Novel bin Salim bin Ahmad Jindan
Suarabamega25.com, Tangerang - Tanggal 29 Oktober 2023 mendatang, Haul Habib Novel&Habib Salim bin Ahmad Jindan sekaligus Maulid Akbar Nabi Muhammad akan digelar di Ponpes Al Fachriyah, Jl Prof Buya Hamka No 1, Kampung Gaga, Larangan Selatan, Ciledug Kab Tangerang ,Banten.
Habib Salim bin Ahmad Jindan adalah Singa Podium Betawi pada jamannya, pejuang kemerdekaan dan sekaligus pendakwah yang tak kenal lelah di masalah sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan.
Habib Salim, ulama keturunan Rasulullah SAW kelahiran Surabaya 18 Rajab 1324 H atau 7 September 1906 M ini memiliki nama Asli Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan yang bersambung nasabnya sampai Nabi Muhammad SAW. Ulama yang dijuluki 'Gudang Ilmu' pada zamannya ini merupakan murid Syaikhuna Kholil bin Abdul Mutolib yang masyhur dengan sebutan Mbah Kholil Bangkalan. Al-Habib Salim juga berguru dan mengambil sanad ilmu kepada Imam Ahmad bin Zaini Dahlan, Habib Alwi dan Muhammad Al Haddad dan Habib Abu Bakar bin Muahmmad Assegaf. Kedua habib terakhir ini adalah guru yang paling berkesan di hati beliau. Salah satu guru beliau yang lain adalah Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi yang di hadapannya lebih dari 200 kitab beliau baca dan kaji. Masih banyak lagu guru beliau, lebih dari 400 ulama dunia dan 200 ulama Nusantara diambil ilmu dan sanadnya oleh beliau. Kesungguhan dan kecintaan Habib Salim dan Jindan terhadap ilmu dibuktikan juga dengan koleksi kitabnya dalam perpustakaan pribadi yang berjumlah sekitar 15.000 kitab, terdiri dari kitab mu’tabaroh maupun kitab kitab langka. Beliau juga mengarang sekitar 100 kitab dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang sejarah dengan judul Kitab I’laam Ahli Ar Rusukh Bi Anbaa’I A’laam Asy Syuyukh sejumlah 4 jilid; Kitab Ithaaf An Nabiil Bi Akhbaar Man Bi Jazair Al Arakhbiil 2 Jilid, I’laam Al Baraaya Bi A’laam Indunusia 3 jilid; Muluk Al Alawiyyin Fi Asy Syarqil Aqsha 2 jilid; Tarikh Dukhul Islam Ila Jazair Indunusia membahas tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara dan tentang kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, serta tentang sejarah dan biografi tokoh-tokoh Nusantara. Siapa pun yang membaca kitab-kitab beliau akan tumbuh rasa nasionalis dan cinta Tanah Air yang luar biasa. Beliau juga menulis kitab dalam bidang hadist. Terdapat lebih dari 50 judul kitab besar, salah satunya adalah Kitab Raudhah Al Wildan terdiri dari 8 jilid besar yang berisi hadist-hadist Nabi Muhammad SAW. Beliau juga terkenal sebagai ulama ahli nasab. Beliau menulis puluhan kitab tentang nasab. Antara lain Kitab Mu’jam Al Awadim 16 jilid, yang mana jilid 1 saja sudah 1200 halaman; dan Kitab Ad Durr wa Al Yaquut 7 Jilid. Kealiman beliau tidak hanya masyhur di Indonesia, tapi juga terkenal di seluruh dunia. Bahkan ulama dunia yang juga guru beliau Muhaddits Al Hijaaz Al 'Allamah Asy Syeikh Umar bin Hamdan Al Mahrasi Al Jazairi. Dalam naskah ijazah beliau kepada Al Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Asy Syeikh Umar bin Hamdan Al Mahrasi Al Jazairi menulis, "Sesungguhnya aku telah memberikan ijazahku untuk As Sayyid yang sempurna Salim bin Ahmad bin Jindan." Kemudian, guru beliau yang lain Al 'Allamah Mufti Johor Al Habib Alwi bin Thohir Al Haddad. Dalam naskah ijazah kepada Al Habib Salim beliau menulis, "Sesungguhnya telah meminta kepadaku Ijazah As Sayyid yang terhormat, teguh dalam berprinsip, yang ditalqinkan baginya ilmu, yang diberi ilham yang agung dari Allah, seorang yang memiliki hafalan yang sangat kuat, yang selalu meneliti danmengkritisi ilmu, yang setiap hari selalu datang dan memenuhi hidupnya untuk memikirkan ilmu yaitu As Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan." Maka dalam dunia ilmu beliau dijuluki Al Muhaddist (Ahli Hadist), Al Musnid (Ahli Sanad), dan Al Muarrikh (Ahli Sejarah). Berjuang untuk Indonesia Tenggelamnya hati beliau dalam lautan ilmu tidak melupakannya untuk memikirkan negara dan berjuang berjuang untuk kemerdekaan negaranya. Pada 1940 beliau hijrah ke Jakarta . Beliau membuka beberapa majelis ilmu di beberapa daerah. Selain berdakwah beliau juga menjadi pejuang terdepan untuk kemerdekaan Indonesia, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda, dengan tenaga, fatwa dan pidatonya yang berapi-api. Oleh sebab itu ulama yang ahli berdebat dan orator ulung ini pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda. Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa, dipukul, ditendang dan bahkan disetrum. Namun, itu semua tidak melunturkan semangatnya dalam berjuang dan berdakwah, demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran ia tetap tabah, pantang menyerah. Salah satu prinsip utama yang beliau teguhkan dalam hati adalah hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman. Ketulusan beliau dalam berjuang untuk kemerdekaan sama sekali tanpa pamrih. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk dikenang atau dihargai, beliau tidak pernah memikirkan apakah akan dijadikan Pahlawan Nasional atau tidak. Karena beliau melakukan itu semata-mata karena lillahi Ta’ala dan kecintaanya pada negerinya. Dikutib dari buku 45 Habaib Nusantara dijelaskan bahwa setelah Indonesia benar-benar merdeka dan aman, beliau kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia pun kembali sibuk berdakwah di seluruh pelosok Nusantara, bahkan majelis dakwahnya meluas ke mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Kamboja, dan negara lainnya. Selain berdakwah, dalam perjalanannya selalu cermat dan tekun mengumpulkan sejarah perkembangan Islam di daerah, misalnya di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Catatan itu kemudian ditulis dalam kitab-kitabnya. Siapa pun yang membaca akan semakin mengetahui sejarah perjuangan dan islam, sehingga akan membuat pembacanya semakin cinta Tanah Air. Bukti nasionalisme lain dari beliau adalah dapat dilihat dari berbagai karyanya yang selalu menambahkan 'Al-Indunisiy' di akhir namanya. Nama beliau selalu tertulis dengan kalimat Allamah Al-Muhaddits As-Sayyid Salim bin Ahmad bin Jindan Al-Alawiy Al-Husainiy Al-Indunisiy. Dengan kepiawaian beliau dalam berdakwah, Islam kelihatan sangat sejuk dan damai. Karena itu banyak orang non-Islam yang akhirnya memeluk Islam dengan wasilah setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim Habib Salim dan mendegarkan ceramahnya. Selain mendakwahkan Cinta Tanah Air, ada dua hal lain juga yang paling beliau dakwahkan, yaitu tentang pentingnya meninggalkannya yaitu pornografi dan kemaksiatan. Beliau wafat di Jakarta pada 16 Rabiul Awal 1389 H atau 1 Juni 1969 M. Ketika itu ratusan ribu kaum Muslimin dari berbagai pelosok negeri dan dunia. Jasadnya dimakamkan di dalam kubah di kompleks pemakaman al Hawi,Condet , Cilitan Jakarta Timur.
Penerus dakwah Habib Salim yakni Habib Shalahudin (Otista ,Kampung Melayu) sekarang taklim diasuh oleh Habib Salim bin Shalahudin Salim Jindan. Sementara Habib Novel Salim Jindan (Ciledug Tangeramg).
Habib Novel
Sedangkan Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan Husain bin soleh bin Abdullah bin Jindan bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Syaikhon bin Asy Syeikh Abi Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurahman bin Abdullah bin Asy Syeikh Abdurahman As Seggaf bin Muhammad Maula Ad Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghuyyur bin Al Ustadz Al A’dzom Al Faqih Al Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Sohib Al Murbath bin Ali Khola’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Maula Showma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al ‘Uraidhi bin Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi tholib dan bin Fathimah Az Zahra binti Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Habib Novel bin Salim bin Ahmad bin Jindan adalah guru yang utama dan pertama bagi kedua anaknya yaitu; Habib Jindan dan Habib Ahmad.
Habib Ahmad berkata, “Kalau bukan karena didikannya, maka entah menjadi bagaimana keadaan Saya.” Habib Novel lahir pada hari Sabtu pagi, tanggal 2 Rabi’uts Tsani tahun 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 April 1942 M, di Bidara Cina Otista Jatinegara, Jakarta. Habib Novel ada sosok yang sangat sayang dan berbakti kepada ibu dan ayahnya. Ibu Habib Novel adalah Syarifah Aisyah binti Habib Usman bin Abdullah Syatho. Al Habib Usman adalah salah seorang ulama dari Makkah yang datang ke Sulawesi untuk berdakwah dan kemudian menikahi salah seorang wanita berdarah biru dari Bugis hingga lahir dari perkawinan tsb Syarifah Aisyah binti Al Habib Usman Syatho.
Habib Ahmad bin Novel berkomentar tentang bakti Sang Ayah kepada ibunya, “Karakter yang Saya ketahui dari Ayah Saya adalah kepatuhannya kepada ibunya. Tidak pernah berucap kata ‘Tidak’ kepada ibunya. Hingga wafat sang ibu pada tahun 1990 atau 1991. Hal tersebut, sebagaimana bakti beliau yang sangat luar biasa kepada sang ayah, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan.” Sejak kecil Habib Novel dididik dengan adab oleh Sang Ayah, Habib Salim. Habib Novel selalu mendampingi sang ayah.
Sekitar tahun 1967, Habib Novel berangkat ke Hijaz (Makkah), dan tinggal di sana selama kurang lebih 2 tahun. Habib Novel menimba ilmu dari para ulama yang ada di sana, diantaranya As Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki. Al Walid sangat disayang oleh As Sayyid Alwi hingga dipersaudarakan dengan putranya Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki. Sebagaimana beliau juga menimba ilmu dan dekat dengan As Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Asy Syeikh Hasan Masysyaath dan ulama Al Haramain yang Saat itu berada di sana.
Selain berguru dengan para habaib dan masyaikh di Mekah, Habib Novel juga berguru kepada Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi Kwitang, Habib Ali bin Husain Al-Attas Bungur, Habib Muhammad bin Ahmad Haddad Al-Hawi, dan senantiasa mendampingi mertua beliau sekaligus berguru kepadanya Habib Muhammad bin Ali bin Abdurahman Al-Habsyi Kwitang, dan beliau juga berguru dari para ulama lainnya. Bahkan hampir sebagian besar guru-guru Habib Salim bin Ahmad bin Jindan adalah guru bagi Habib Novel. Sebab Habib Salim setiap kali meminta Ijazah dari para gurunya selalu memintanya juga untuk anak dan keturunannya.
Habib Salim berniat untuk pindah ke Makkah bersama seluruh keluarga besarnya, sehingga Habib Novel menunggu kedatangan beliau dan mempersiapkan segalanya, namun karena beberapa kepindahan Habib Salim tidak terwujud dan batal. Ketika Habib Novel mendapat kabar bahwa kepindahan ayahnya batal, beliau bergegas untuk pulang ke indonesia karena khawatir akan keadaan ayahnya. Setibanya di indonesia sang ayahnya sangat gembira dan bahagia menyambutnya. Habib Novel pernah bercerita kepada Habib Ahmad, bahwa beliau sama-sama berdakwah dengan Habib Salim, sang ayah, saling bahu-membahu bersama para habaib dan para ulama lainnya.
Suatu ketika, seseorang mengundang Habib Salim dan Habib Novel agar keduanya berceramah di suatu acara. Pada waktu yang sama ditempat yang lain, seseorang pun mengundang keduanya sehingga Habib Salim mengatakan kepada Habib Novel, “Engkau (Habib Novel) sekarang ke acara yang di sana sedangkan aku di acara yang di sini, setelah engkau selesai maka bergegas untuk hadir di acara yang di sini sedangkan aku akan beranjak ke acara yang di sana.” Habib Abdul Qodir bin Muhammad Haddad Al Hawi bercerita bahwa pernah dalam suatu acara mauled, Habib Novel diminta berceramah di hadapan ayahnya Habib Salim, dan saat itu hadir pula para habaib dan ulama lainnya. Setelah berceramah, sang ayah Habib Salim berdiri dan mengatakan dengan bangga, “wahai Hadirin, beginilah para Habaib dan keluarga Rasulullah SAW, mereka bagaikan pohon pisang, tidak mati induknya melainkan setelah tumbuh sempurna anaknya”.
Suatu hari dalam sebuah kesempatan Habib Salim melepaskan Imamah yang beliau pakai dan beliau letakkan dan pakaikan di kepala Habib Novel bin Salim bin Jindan. Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Wafat pada Malam senin tahun 1969. Dan meninggalkan putra pitri yang solih dan solihah yang bertaqwa kepada Allah. Dan tidak lama kemudian Al Walid menikah dengan ibu kami putri Al Habib Muhammad bin Ali bin Abdurahman Al Habsyi.
Seluruh hidup beliau hanya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, hanya untuk berdakwah dan berjuang di jalan Allah hingga akhir hayat beliau.
Dorongan beliau kepada putra putrinya untuk menempuh jalan agama, dakwah di jalan Allah, sangat kuat sehingga beliau kirim semua anak-anaknya untuk menimba ilmu. Dan setiap anak dari mereka saat berangkat, beliau selalu berpesan kepadanya dengan apa yang di katakan oleh ibunda Asy Syeikh Abdul Qodir Al Jailani saat berpisah dan melepas anaknya menimba ilmu, wahai anakku, belajarlah bersungguh-sungguh dan jangan pernah berfikir kembali dan berjumpa, sebab aku akan menunggumu di depan telaga Rasulullah SAW di hari kiamat. Kata-kata ini sangat membekas di lubuk hati anak-anaknya yang tercinta. Harapan ini Allah wujudkan untuk beliau ketika putra tertua beliau wafat saat menimba Ilmu kepada Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith di Madinah Al Munawwarah, dan kemudian dimakamkan di Makkah.
“Saya masih selalu teringat Saat saya masih kecil di waktu Dhuha ketika saya berada di kamar, dan saya mendengar dari kamar Al Walid suara beliau yang lantang yang sedang mengulang-ulang hafalan hadits beliau dari kitab Riyadhus Solihin, kenang Habib Ahmad. Saya mendengar bahwa beliau hafal kita Riyadhus Solihin karya Al Imam An Nawawi. Sebagaimana saya masih mengingat bahwa sebagian besar waktu beliau ketika bersama kami selalu membawakan cerita para awliya dan salaf solihin dari keluarga Al Ba Alawi.” Beliau ketika menghadiri acara maulid atau majelis, selalu mengajak semua atau sebagian anak-anak beliau untuk mendampinginya.
Habib Ahmad bercerita, “Ketika beliau melihat saya di kamar suatu hari sedang memegang kitab Maulid Simtud Durar, beliau gembira dan bahagia dan menghampiri saya kemudian duduk bersebelahan dengan saya. Dan menyemangati saya untuk melancarkan bacaan suatu fashal dari kitab maulid tersebut, yaitu Fashal sebelum Qiyam dan Fashal sebelum doa maulid. Setelah saya lancar, setiap kali ada acara maulid, beliau memerintahkan saya untuk tampil dan membaca Fashal maulid tersebut.”
Habib Ahmad bercerita, “Sepulangnya saya dari Hadramaut, saya selalu mendamping beliau bersama kakak saya Habib Jindan bin Novel. Hingga beliau wafat pada hari jumat jam 17.00 tanggal 3 Juni tahun 2005 M bertepatan pada tanggal 25 Rabiuts Tsani tahun 1426 H. Saat itu telapak tangan kanan beliau berada di telapak tangan saya, dan ibu saya mentalqinkan beliau, dan adik-adik saya berada di kaki beliau, sedangkan kakak saya Al Habib Jindan sedang mewakili beliau berdakwah di Singapura di Masjid Ba Alawi dalam acara Haul Imam Habib Muhammad bin Salim Al Attas.”
Pernah suatu kali wartawan suatu majalah islami berkunjung ke rumah Habib Novel untuk mewawancara kami dan Al Walid. Salah satu pertanyaan mereka kepada Al Walid adalah, Apa cita-cita Habib Novel untuk umat islam?
Kerena bekas stroke sehingga beliau berbicara terpatah-patah, namun saat itu beliau menjawab hanya dengan isyarat tangannya yang sangat membahagaiakan kami semua. Beliau menunjuk kepada Kakak saya, Habib Jindan dan kepada saya Ahmad, serta anak-anak beliau yang lainnya. Seakan beliau mengatakan, “Merekalah cita-cita dan persembahan Saya untuk umat.” Habib Novel lebih disibukkan oleh kegiatan dakwah, sehingga setelah wafatnya beliau tidak menulis karya intelektual. Adapun dalam bentuk karya sosial, Yayasan Al-Fakhriyah dan berbagai aktifitas sosial di dalamnya adalah bukti keikhlasannya dalam pengabdian kepada Allah SWT.
Penerus dakwah dari Habib Novel saat ini yakni Habib Jindan dan Ahmad bin Novel bin Salim Jindan (Aji S)
Tidak ada komentar: