Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

KH. Agoes Ali Masyhuri Ajak Jamaah Teladani Kaum Sholihin


Suarabamega25.com, Malang - Haul KH. Achmad Masduqie Mahfudz ke-9 & Masyayikh Ponpes Nurul Huda Mergosono Malang digelar pada hari Ahad, 6 November 2022 dari 07.30 WIB- selesai.

Acara dimulai dengan dzikr Dzikrol Haul:

1. Al Maghfurlah KH. Achmad Masduqi Mahfudz yang ke-9 

2. Al Maghfurlaha Nyai Hj. Chasinah Chamzawi yang ke-8

3. Al Maghfurlah KH. Mustofa Rodhi yang ke-2

4. Al Maghfurlaha Nyai Hj. Qibtiyah Zaini yang ke-9

Hampir 10 tahun berlalu terasa sangat cepat. Dikutip dari website pesantren yang diasuhnya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Nurul Huda, KH Masduqi Mahfudz dilahirkan di desa Saripan (Syarifan) Jepara Jawa Tengah pada 1 Juli 1935.  

Mantan Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur ini dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana. Ia memiliki prinsip hidup "Kalau kita sudah meraih berbagai macam ilmu terlebih ilmu agama, maka kebahagiaan yang akan kita capai tidak saja kebahagiaan akhirat, akan tetapi kebahagiaan dunia pun akan teraih." Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Chasinah putri dari KH Chamzawi Umar pada 7 Juli 1957 dalam usia 22 tahun, ia dikaruniai 9 orang anak. Sebelum memasuki dunia perkuliahan seluruh putra dan putrinya tanpa kecuali diharuskan mengenyam pendidikan di pesantren. Ini merupakan prinsip yang ditanamkan Kiai Masduqi para putra putrinya. 

Dari pengalaman mengaji di pesantren ini, meskipun lata belakang pendidikan putra putri beragam, mereka mampu menjalankan amanah dakwah di tengah-tengah masyarakat. Terlahir di tengah-tengah keluarga religius yang taat, sejak kecil ia sudah dihiasi dengan tingkah laku, sikap dan pandangan hidup ala santri. Ia dikenal sangat mencintai dunia keilmuan. Sejak kecil, Kiai Masduqi menimba ilmu di pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri dengan menyempatkan berkeliling menjual sabun dan kebutuhan yang lain tanpa sepengetahuan kiai atau orang tuanya sendiri. 

Sambil menuntut ilmu di SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama) di Yogyakarta, ia mengaji di Pesantren Krapyak asuhan Yogyakarta KH Ali Maksum. Sejak 1957 ia mengajar di berbagai sekolah di Kalimantan, seperti di Tenggarong, Samarinda, dan Tarakan. Pada 1964 ia melanjutkan studi di IAIN Sunan Ampel Malang, sekaligus sebagai dosen Tadribul Qiraah (bimbingan membaca kitab), bahasa Arab, akhlak, dan tasawuf di kampus UNISMA itu.  

Pemahamannya terhadap kitab gundul sangat dalam, baik ketika dalam pembahasan masalah di forum majlisul bahtsi wal muhadlaratud diniyyah, kodifikasi hukum Islam, bahtsul masail, maupun tanya jawab hukum Islam pada majalah Aula.  

Pesantren Nurul Huda yang dirintisnya bermula hanya sebuah mushalla kecil yang berada di Mergosono gang 3B. Mushalla yang sebelumnya sepi oleh aktivitas ibadah mulai digalakkan semenjak ia berdomisili di situ ketika meneruskan pendidikannya di IAIN Sunan Ampel Cabang Malang. Karena keahliannya dalam bidang agama, banyak mahasiswa yang nyantri kepadanya dan kemudian terus ia semakin dikenal dan semakin banyak orang belajar agama sampai akhirnya musholla kecil tersebut menjadi pesantren yang sesungguhnya.


KH Achmad Masduqi Machfudz wafat pada Sabtu, 1 Maret 2014 sekitar pukul 17.27 WIB di Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang.  

Prof Iman Suprayogo , Rektor Unisma pernah memberi kesan tersendiri tentang sosok KH Masduqi Machfudz ini.

pensiunan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Namun oleh karena pensiun beliau sudah cukup lama, maka banyak dosen dan pegawai UIN Maliki Malang tidak banyak yang mengenalnya. Mereka yang tidak mengenal kyai yang sangat mahir Berbaha Arab (kitab) itu kiranya bisa dimaklumi oleh karena sejak mereka mulai menjadi dosen atau pegawai, Kyai Masduqi Mahfudz sudah memasuki masa pensiun.

Banyak kenangan yang saya dapatkan dan sulit saya lupakan dari dosen Bahasa Arab dan ilmu akhlak IAIN yang sekarang lembaga itu telah berubah menjadi UIN Maliki Malang ini. Beliau sangat menguasai ilmunya. Jarang mahasiswa yang menempuh ujian dari beliau sekaligus lulus. Sudah menjadi biasa, mahasiswa ujian berkali-kali dari beliau tidak lulus dan harus mengulang. 

KH Achmad Masduqi Mahfudz rupanya tidak mau meluluskan mahasiswanya manakala belum nyata-nyata menguasai ilmu yang dikuliahkan sebagaimana yang diinginkan. Oleh karena itu, seorang yang telah lulus mata kuliah dari Kyai Masduqi Mahfudz benar-benar dianggap mampu.

Memberikan standar lebih seperti itu, tidak berarti Kyai Masduqi tanpa resiko. Kepada para mahasiswa yang kemampuannya kurang oleh beliau dianjurkan untuk belajar tambahan di pondok pesantrennya, yakni PP Nurul Huda di Mergosono. Bagi mahasiswa yang tidak datang ke pondok, oleh karena tempatnya jauh, beliau sendiri berkenan datang ke kampus untuk memberikan kuliah atau pelatihan tambahan. 

Dalam percakapan beliau yang tidak pernah saya lupakan hingga sekarang, bahwa meliau mengaku malu meluluskan mahasiswa yang sebenarnya belum layak diluluskan. Oleh karena itu asalkan, diberi tempat saja di kampus, sekalipun dengan biaya sendiri, beliau sanggup memberi kuliah tambahan.

Hal lain yang tidak pernah saya lupakan dari beliau adalah keyakinannya tentang keunggulan pendidikan pondok pesantren. Beberapa dosen yang mewarnai pikiran saya tentang betapa pentingnya pendidikan pesantren, di antaranya adalah KH Masduqi Mahfudz. Selai itu, juga KH Oesman Mansyur, KH.Achmad Muhdlor, dan Ust. Buchori Saleh LAS,. Mereka itu adalah para dosen senior dan bahkan saya ketahui sebagai di antara perintis IAIN Malang.

 Mengetahui kecintaan mereka terhadap pesantren itulah, maka ketika saya berkesempatan memimpin kampus ini -------Fakultas Tarbiyah IAIN, STAIN, dan kemudian berubah menjadi UIN, saya lengkapi kampus dengan ma'had. Dengan demikian akhirnya, UIN Malang terformat menjadi sebuah sintesa antara tradisi ma'had atau pesantren dan tradisi perguruan tinggi sebagaimana yang terlihat sekarang ini.

Merintis ma'had di tengah kampus ternyata bukan perkara mudah. Pada awalnya banyak kritik, oleh karena ada pandangan bahwa lazimnya ma'had atau pesantren didirikan oleh kyai. Pesantren tidak sebagaimana sekolah atau lembaga pendidikan pada umumnya, yaitu bisa didirikan oleh siapa saja. Berbeda dengan pesantren, selalu didirikan oleh kyai.

Sementara itu, saya sama sekali tidak penah dikenal sebagai seorang kyai. Saya hanya sebagai seorang dosen yang kebetulan mendapat amanah atau dipercaya memimpin perguruan tinggi Islam. Oleh karena itu, saya oleh sementara orang dianggap tidak layak merintis ma'had atau pesantren, termasuk di kampus.

Salah satu usaha yang saya lakukan agar kritik itu reda, saya bersillaturrahmi ke KH Masduqi Mahfudz, memohon perkenan beliau, agar saya diijinkan menugasi salah seorang putranya, yaitu Gus Isroqunnajah, yang kebetulan menjadi dosen di UIN Maliki Malang untuk menjadi salah satu pembina atau pengasuh ma'had yang saya rintis. 

Saya berkeyakinan, manakala ma'had kampus yang kemudian lebih dikenal sebagai Ma'had Sunan Ampel al Aly UIN Malang diasuh oleh orang-orang yang memiliki pengalaman pendidikan di pesantren dan bahkan sebagai putranya seorang kyai yang dikenal luas, maka kritik itu menjadi reda. Apalagi kemudian, Ma'had Sunan ampel al Aly, diresmikan oleh KH Abdurrahman Wahid, ketika itu beliau sebagai Presiden Republik Indonesia.

Tatkala saya bersillaturrahmi, meminta ijin agar putranya diperkenankan menjadi salah seorang pengasuh Ma'had Sunan Ampel al Aly, KH Achmad Masduqi Mahfudz menyampaikan bahwa Gus Israqunnajah sudah lama dipersiapkan agar menjadi penerus pesantren yang telah lama beliau rintis sendiri, yakni pesantren Nurul Huda Mergosono. Namun atas argumentasi yang saya sampaikan, bahwa UIN Maliki Malang pada hakekatnya adalah milik Kyai Masduqi Mahfudz sendiri, milik umat, dan saya hanya sebatas menerjemahkan keinginan para kyai sepuh terdahulu, maka akhirnya permintaan saya dikabulkan. 

Hanya saja ketika itu beliau mengatakan, :' kamu ini meminta sesuatu kok yang terbaik dan yang saya perlukan'. Dengan setengah berani ketika itu, saya menjawab bahwa : 'Kyai telah mengajari agar kelak, saya bersedia memberikan sesuatu yang terbaik, maka saya mohon kepada Kyai juga memberi sesuatu yang terbaik dan paling Kyai cintai'. Atas jawaban saya itu, Kyai Masduqi tersenyum, pertanda setuju.

Kenangan saya terakhir, setiap kali diselenggarakan acara berdzikir bersama di kampus, beliau selalu hadir. Lagi-lagi komentar beliau yang sangat mengesankan, bahwa berdzikir dan mendoakan orang tua, para sesepuh, dan siapa saja yang mencintai ilmu, menyukai amal shaleh, dan akhlakul karimah adalah perbuatan mulia. 

Beliau mengatakan, : 'sekalipun saya dalam keadaan kurang sehat, saya merasa harus datang, karena di kampus ini ada doa dan dzikir, mengajak orang mengingat Allah'. Namun, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, pada hari Ahad, tanggal 2 Maret 2014, KH Achmad Masduqi Machfudz, seorang dosen IAIN Malang yang sangat mencintai kampus dan sekaligus pondok pesantren sebagai bagian dari wujud kecintaan beliau kepada Allah dan rasul-Nya, wafat. Semoga beliau ditempatkan oleh Allah pada tempat terbaik, di surga-Nya. Amien.

Ribuan jamaah tumpek blek menghadiri Haul di Kab Malang Jawa Timur ini , dua pembicara mengisi ceramah haul dan maulid yakni: Habib Husein bin Alwi bin Agil (Murid Sayyid Muhammad ibn Alwy al-Hasani al-Maliki dari Probolinggo) dan KH. Agoes Ali Masyhuri (Pengasuh Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo).

KH Agus Masyhuri mengajak jamaah untuk meneladani dan mengikuti jejak kaum sholihin.

 “Acara ini banyak dihadiri lumni PPSSNH Mergosono Malang.

Kami atas nama Pengurus Alumni PPSSNH menyampaikan  banyak terima kasih atas perhatian, partisipasi dan kehadirannya ,” kata Ketua alumni Abdullah Zainur Rauf.

Acara ini disiarkan langsung dari PPSS Nurul Huda Mergosono, Malang.(Aji S)

 

 

Tidak ada komentar: