Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Haul Gus Dur, 14 Tahun Etika Politik dan Kekuasaan



Suarabamega25.com - Pada 30 Desember ini tepat 14 tahun Gus Dur wafat. Orang-orang terdekat Gus Dur pada momen ini (haul) mengenang dan merindukan Gus Dur hadir, menjadi "hidup kembali"  pada kesederhanaan , kasih sayang, ruang empati pada nilai kemanusiaan dan keadilan, tempat berkeluh kesah, dan rasa se sebaik of humor yang tiada tara, hadir terlontar renyah  namun sarat makna tidak sekedar ber ha ha ha..hi..hi..

Tentu banyak tokoh dan lembaga sosial masyarakat menempatkan Gus Dur sebagai tokoh demokrasi atau bapak pluralisme kemanusiaan (humanis) dengan variannya sebagai pembela kaum minoritas (proletariat).

Meskipun tidak sepenuhnya salah, pandangan ini sebenarnya kurang tepat. Dalam konteks demokrasi dan pluralisme, Gus Dur lebih tepat sebagai penggali sebagaimana Sukarno untuk Pancasila.

Demokrasi ada dalam kultur bangsa ini, tapi dipendam dengan sangat dalam oleh tradisi kekuasaan (sejak zaman raja-raja) di negeri ini. Sedangkan bapak kandung pluralisme adalah adalah Empu Tantular dan (kakawin) Sutasoma merupakan akte kelahirannya (Bhinneka Tunggal Ika). Dan Gus Dur yang lahir Jombang kemudian pindah ke Magelang (Tegalrejo) dan Jogja (al Munawwir , Krapyak)..Di  masa pendidikan  anak-anak hingga remaja saat di Jogja ia tumbuh di lingkungan mayoritas Muhammadiyah dan tentu kultur pluralis budaya Jogja yang multikultur menambah pendidikan pemula tentang bagaimans hidup di suasana dan kondisi yang berbeda. Disinilah awal untuk bagaimana membuka ruang , menghormati perbedaan. Inilah awal dari pemikiran etika politik beliau yang mampu mengentaskan problem pluralitas bangsa Indonesia. Berangkat dari demokrasi, baik demokratisasi dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan politik.

Menurut beliau terdapat 3 tipe tentang persoalan hubungan agama (Islam) dan negara. Tipe pertama Islam bukan seperti agama sebagaimana dipahami Barat yang melulu mengatur hubungan Tuhan dengan manusia, akan tetapi merupakan agama yang paripurna mengatur segala aspek kehidupan termasuk kehidupan bernegara.

 Selanjutnya Islam sebagai agama menurut pengertian barat, Islam tidak berkaitan dengan urusan kenegaraan.

Tipe terakhir menolak pandangan Islam sebagai agama yang serba lengkap dan terdapat sistem ketatanegaraan dalam Islam. Hal tersebut membuat Gus Dur memiliki gagasan bahwa dalam Islam, negara diposisikan sebagai hukum (al-hukm) dan Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif. Suksesi yang urgent dalam masalah kenegaraan, Islam tidak konsisten. Nasionalisme tidak sekuler, tetapi ada nilai-nilai Islam. Melihat pluralitas yang tinggi bangsa Indonesia akhirnya Gus Dur memilih atau menganggap sebagai final negara yang didasarkan pada ideologi Pancasila.

Wajah kehidupan politik Indonesia saat ini masih didominasi oleh berbagai fenomena negatif. Konflik agraria yang semakin kronis, penyalahgunaan kekuasaan, gaya hidup mewah aktor politik, pembentukan regulasi yang cenderung ‘hanya’ mengakomodasi kepentingan oligarki hingga masih suburnya korupsi yang menjadi simpul dari segala permasalahan.

Tanpa menyertakan data konkret, deretan fenomena tersebut merupakan fakta yang tidak bisa kita bantah adanya. Bahkan, anomali tersebut bukan merupakan kasuistik belaka, tetapi terus terulang bahkan mengalami peningkatan. Kendati tidak semua aparatur pemerintahan menjalankan praktik yang salah, namun berdampak luas terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat terutama kalangan bawah.

Jika dilihat dari kacamata filsafat, pangkal dari masalah dalam dunia politik di Indonesia saat ini adalah miskinnya etika dalam praktik penyelenggaraan negara. Kebijakan yang idelanya bertumpu pada tugas suci menciptakan kesejahteraan masyarakat akan beralih pada hasrat memenuhi kepentingan golongan saja. Hal ini karena tergerusnya standar nilai etik dalam menjalankan tugas pemerintahannya.

Artinya, eksistensi etika politik yang sangat urgen ini harus terus digaungkan. Buah pikir mengenai etika politik mesti dikaji, dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan politik. Salah satu tokoh yang memiliki kepedulian besar terhadap hal ini adalah Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Kendati pemikirannya mengenai etika politik dipengaruhi sosio-politik pada saat itu, namun agaknya masih relevan untuk diterapkan di masa sekarang.

Problematika yang terjadi dalam bidang politik masa Gus Dur dengan masa sekarang tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Salah satunya tipe-tipe pemimpin pada masa Gus Dur dan sekarang selaras, mengingat penyalahgunaan kekuasaan masih banya terjadi (Faizatun Khasanah, 2019). 

Hal ini dapat ditemukan dengan mudah dalam berita di berbagai platform media sosial.

 Para pemimpin negeri seolah mengesampingkan dan acuh terhadap kepentingan rakyatnya. Mulai dari minimnya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang sampai bentrok antara aparat dengan warga sipil sebagaimana yang terjadi baru-baru ini.

Etika Politik 

Etika merupakan bagian dari cabang filsafat. Secara umum, filsafat dibagi menjadi dua kategori yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mempertanyakan segala entitas yang ada seperti apa itu alam, manusia dan lain sebagainya. Sedangkan filsafat praktis membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut (Aidost, 2009).

Etika masuk dalam rumpun filsafat praktis, sehingga etika politik secara umum berbicara soal bagaimana memperoleh kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan yang tentu dilandasi dengan moralitas.

Gus Dur sendiri tidak memberikan definisi secara eksplisit, namun buah pemikirannya mengenai etika politik dapat kita formulasikan menjadi beberapa prinsip. Pertama, keadilan untuk kesejahteraan bersama. Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), keadilan merupakan ajaran fundamental yang dibawakan Islam, baik keadilan individual maupun keadilan kolektif.

Sebagai cendekiawan yang lahir dari rahim pesantren, prinsip etika keadilan dalam pandangan Gus Dur terinspirasi dari sumber ajaran Islam. Bahwa perintah keadilan perlu dijalankan dan diterapkan secara konsisten. Berulang kali Alquran menyerukan an ta’dilu (perintah untuk berlaku adil) dan kunu qawwamina bi al-qisth (menegakkan keadilan). Yang artinya keadilan merupakan perintah mutlak dalam Islam. Tidak hanya Islam, agama lain juga menjunjung tinggi keadilan yang berarti keadilan tak ternilai harganya.

Keadilan dalam konteks kehidupan bernegara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Segala kebijakan harus berorientasi dan berpihak pada rakyat. dengan spirit humanisme, memperlakukan mereka sebagai manusia maka keadilan di sini harus ditegakkan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Banyak tulisan Gus Dur yang menekankan etika keadilan dalam tubuh pemerintahan. Keadilan harus menjadi basis moral yang penting. Karena, jika keadilan hidup dalam bidang politik, maka akan hidup pula dalam bidang-bidang lainnya.

Kedua, prinsip amanah. Sebagai khalifatullah fil ardh, manusia diberikan kesempatan oleh tuhan sebagai pemegang otoritas pengelolaan dunia. Manusia diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi untuk berlaku secara kreatif dalam menjaga kelestarian 0hidup, disamping tetap ada rambu-rambu dari Tuhan sebagai pedoman hidup. Kehendak bebas inilah yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban sesuai apa yang diperbuat. Maka, sejatinya hidup adalah amanah dari tuhan.

Seorang pemimpin, harus bersikap amanah karena ia sedang mengemban tanggungjawab sebagai wakil Tuhan di bumi sekaligus sebagai wakil rakyat. amanah berarti menjalankan apa yang telah dibebankan kepadanya. dalam konteks hubungan antar manusia termasuk dalam penyelenggaraan negara, tidak amanah berarti telah melakukan dosa kemanusiaan. Oleh karena itu, menurut Gus Dur, amanah menjadi sikap moral yang harus terus tumbuh dalam dada para pemimpin.

Awal Gus Dur menjabat sebagai Presiden, sepak terjang Gus Dur sebagai pembela kaum minoritas sering diplintir menjadi  sempit pengertiannya ketika ia dicap pembela etnis Cina dan non-Muslim.

Padahal yang dilakukan Gus Dur dalam konteks ini adalah memperjuangkan hak-hak (dasar) mereka sebagai warga negara. Maka jika mereka bersalah, melakukan tindak pidana, ya tetap harus diproses. Karena bagi Gus Dur setiap warga negara itu kedudukannya sama depan hukum, equality before the law.

Etika Kekuasaan Hal paling orisinal, fundamental dan penting yang ditinggalkan Gus Dur bagi bangsa ini sesungguhnya adalah etika kekuasaan.

Dalam konteks ini, Gus Dur tak hanya mengajari kita dengan kata-kata, tapi juga dengan perbuatan, teaching by example.

Dengan berpedoman pada konsep kepemimpinan Islam (kaidah fiqih), Tasharruf al-imam ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah, kebijakan yang dia keluarkan sebagai Presiden/Kepala Pemerintahan insya Allah senantiasa diperuntukan bagi keselamatan dan kesejahteraan (kemaslahatan) rakyat yang dipimpinnya.

Namun demikian, pada saat yang bersamaan Gus Dur tetap percaya bahwa kekuasaan, jabatan, itu adalah amanah. Titipan. Bisa hilang atau jatuh kapan saja.

Pemikiran (ikhlas) inilah yang memproses lahirnya kata-kata itu: Tidak ada jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian. Apalagi dengan tetesan darah!

Inilah etika kekuasaan itu. Moral kekuasaan. Hal yang tak pernah ada sebelumnya di negeri ini, dari sejak zaman raja-raja hingga zaman pera pemimpin politik berperilaku sebagai raja. Feodal!

Maka tak ada keraguan sedikitpun bagi saya untuk menetapkan Gus Dur sebagai negarawan , tokoh pluralis, demokrasi , humaniterian (kemanusiaan) No 1 di republik ini.

Bahkan para pendiri bangsa yang berlatarbelakang intelektual, sebagian di antaranya memperoleh pendidikan Barat (Eropa) dengan tradisi demokrasi yang baik, tak pernah mencetuskan landasan etika kekuasaan, etika berkuasa.

Mohammad Hatta ketika pada November 1956 milih mundur sebagai Wakil Presiden itu adalah cermin menegakkan etika berpolitik. Jika sudah tidak sepaham dengan sekutunya (Presiden Sukarno), pilihannya memang mundur.

Begitu juga BJ Habibie saat (1998) memilih tidak meneruskan jadi presiden karena pidato pertanggungjawabannya di tolak MPR, lebih tepat dibilang menegakkan etika politik.

Etika kekuasaan semacam inilah menjadi gamblang dan mudah dipahami mengacu ke apa yang dilakukan George Washington, Presiden pertama Amerika Serikat (1789 to 1797).

Alasan penolakkan menjabat presiden AS untuk periode ke-3 (karena khawatir akan menjadi preseden bagi generasi mendatang) itulah tradisi dan landasan etika kekuasaan yang dibangun George Washington dan sangat penting untuk bangsanya.

Tata nilai (kekuasaan) inilah yang tak bisa kita temukan dalam reruntuhan sejarah kepemimpinan di negeri ini.

Seharusnya Sukarno, presiden pertama RI melakukan hal yang dilakukan George Washington. Membatasi diri. Menahan syahwat kekuasaan. Bukan malah menjadikan dirinya presiden seumur hidup.

Sialnya, Suharto, presiden berikutnya, juga  kubangan birahi berkuasa yang serupa, dengan berbagai rekayasanya.Lebih sial lagi, etika (menahan syahwat) kekuasaan yang dipahat di batu politik Istana dibiarkan terkubur bersama jasad Gus Dur. 

Orang-orang yang ngaku pengikut Gus Dur, seperti kaum Nahdliyin bahkan para elit politik yang hari-hari tengah berjibaku pada masa kampanye.Sibuk oleh "urusan gizi " dan janji kampanye. Sehingga lupa ujung dari perjuangan demokrasi mahkota terindah adalah muara dari tujuan bermasyarakat dan bernegara sendiri yakni tercipta rasa aman, damai , roda ekonomi berputar, nilai moral etika dan kemanusiaan dijunjung tinggi, hukum ditegakkan sehingga tumbuh rasa keadilan senua. Ujungnya adalah negara dan rakyat yang kuat membangun ekonomi, politik dan budaya adalah menuju kesejahteraan bersama.

Ala kulli hal,

Tak semua orang   memperjuangkan nilai ini.

Maka dalam bulan-bulan terakhir ini, kita saksikan betapa kekuasaan dan jabatan sudah dipertuhankan. Dan perpanjangan kekuasaan, pelestarian jabatan, diperjuangkan mati-matian.

Para pengabdi jabatan dan kekuasaan itu tak pernah berpikir bahwa apa yang dilakukannya dengan menghalalkan segala cara, bukan hanya akan meneteskan darah, tapi mempertaruhkan nasib dan masa depan bangsanya.

Oleh sebab itu, tak ada keraguan sedikitpun pada haul Gus Dur ke-14 ini, kalimat: Tidak ada jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian! tak akan menggaung.

Jika terpaksa muncul, akan langsung lenyap dalam hiruk-pikuk tahun politik 2024. Tenggelam dalam syahwat dan perebutan kekuasaan yang dahsyat! di partai politik dan banyak kemungkinan di lingkungan sekitar kita. Maka itu tidak mustahil akan menjadi akhir dari sejarah peradaban manusia paling kotor di muka bumi. Semoga itu semua tidak terjadi, Na'udzubillahi min dzalik!

Aji Setiawan, mantan demisioner Sek PMII KH Wachid Hasyim UII Yogyakarta , Litbang PMII Cabang Yogyakarta

Pernah menjadi wartawan alKisah 2004-2007 2007-2012 (koresponden lepas.Aktivitas menulis di berbagai media online.


Tidak ada komentar: