Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Sejarah Panjang Negeri Palestina


Suarabamega25.com - Pasca pembubaran Kesultanan Utsmaniyah setelah Perang Dunia I, negara-negara Eropa yang menang membagi banyak wilayah komponennya menjadi negara-negara yang baru dibentuk di bawah mandat Liga Bangsa-Bangsa sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai dengan pihak berkepentingan lainnya.

Di Timur Tengah, Suriah (termasuk wilayah Lebanon bermayoritas Kristen sebagai wilayah otonom Utsmaniyah dan daerah sekitarnya yang menjadi Republik Lebanon) berada di bawah kendali Prancis, sementara Mesopotamia dan Palestina diberikan kepada Inggris.

Sebagian besar dari negara-negara ini mencapai kemerdekaan selama tiga dekade berikutnya tanpa kesulitan besar, meskipun di beberapa rezim, warisan kolonial berlanjut melalui pemberian hak eksklusif untuk memasarkan/memproduksi minyak dan mempertahankan pasukan untuk mempertahankannya. 

Palestina dan Israel memang diketahui memiliki hubungan yang tak harmonis.Konflik antara Israel dan Palestina dilatarbelakangi oleh Klaim kedua bangsa tersebut atas wilayah yang sama, yakni Palestina. Maka dari itu, kedua belah pihak sejak lama berperang untuk memperebutkan wilayah ini.

Palestina tetap bermasalah.Nasionalisme Arab meningkat setelah Perang Dunia II, mungkin mengikuti contoh nasionalisme Eropa.

 Keyakinan Pan-Arabis menyerukan pembentukan satu negara sekuler untuk semua orang Arab.

Selama periode Mandat, banyak rencana pembagian Palestina diusulkan tetapi tanpa persetujuan semua pihak. Pada tahun 1947, Rencana Pembagian untuk Palestina dipilih. Hal ini memicu perang Palestina 1947–1949 dan menyebabkan, pada tahun 1948, pembentukan negara Israel di bagian dari Mandat Palestina ketika Mandat berakhir. 

Jalur Gaza berada di bawah pendudukan Mesir, dan Tepi Barat diperintah oleh Yordania, sebelum kedua wilayah itu diduduki oleh Israel dalam Perang Enam Hari 1967. 

Sejak saat itu muncul usulan untuk mendirikan negara Palestina. Pada tahun 1969, misalnya, Organisasi Pembebasan Palestina mengusulkan pembentukan negara binasional di seluruh bekas wilayah Mandat Inggris.

 Usulan ini ditolak oleh Israel, karena akan sama dengan pembubaran negara Israel. Dasar dari proposal saat ini adalah untuk solusi dua negara di sebagian atau seluruh wilayah Palestina—Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, yang telah diduduki oleh Israel sejak 1967.

1982, Presiden AS Ronald Reagan menyerukan pembekuan pemukiman dan terus mendukung otonomi penuh Palestina dalam persatuan politik dengan Yordania. Dia juga mengatakan bahwa "Ini adalah posisi Amerika Serikat yang – sebagai imbalan perdamaian – ketentuan penarikan Resolusi 242 berlaku untuk semua front, termasuk Tepi Barat dan Gaza.

Perjanjian Amman 11 Februari 1985, menyatakan bahwa Organisasi Pembebasan Palestina dan Yordania akan mengejar konfederasi yang diusulkan antara negara bagian Yordania dan negara bagian Palestina.

Pada tahun 1988, Raja Hussein membubarkan parlemen Yordania dan melepas klaim Yordania atas Tepi Barat. Organisasi Pembebasan Palestina memikul tanggung jawab sebagai Pemerintahan Sementara Palestina dan sebuah negara merdeka dideklarasikan

Proses perdamaian

Ada beberapa rencana untuk menjadikan agar negara Palestina benar-benar berdaulat. Banyak rencana yang diusulkan. Beberapa rencana yang lebih menonjol meliputi:

Pendirian negara Palestina dari Jalur Gaza dan Tepi Barat, dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur yang menjadikan garis Gencatan Senjata 1949, mungkin dengan sedikit perubahan, menjadi perbatasan de jure permanen. Ide yang lama ini membentuk dasar dari rencana perdamaian yang diajukan oleh Arab Saudi pada Maret 2002, yang diterima oleh Otoritas Palestina dan semua anggota Liga Arab lainnya. Rencana ini menjanjikan, sebagai imbalan penarikan, pengakuan penuh dan hubungan diplomatik penuh dengan Israel oleh dunia Arab. Israel mengklaim pada dasarnya keamanannya akan terancam oleh penarikan penuh karena akan mengembalikan Israel ke kedalaman strategis 10 mil sebelum 1967. 

Rencana tersebut hanya bertopik tentang "penyelesaian yang adil dari masalah pengungsi", tetapi desakan hak Palestina untuk kembali ke wilayah Israel pra-1967 dapat mengakibatkan dua negara Arab, salah satunya (pra-1967 Israel) dengan signifikan minoritas Yahudi, dan wilayah lainnya (Tepi Barat dan Gaza) tanpa orang-orang Yahudi.

Rencana lain yang lebih terbatas, untuk negara Palestina juga telah diajukan pendapat, dengan bagian-bagian wilayah Gaza dan Tepi Barat yang telah diduduki oleh Israel atau mempunyai kepentingan strategis tertentu tetap berada di tangan Israel. Wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Israel dapat dialokasikan ke negara Palestina sebagai kompensasi. Status Yerusalem sangat kontroversial.

Sebuah rencana yang diusulkan oleh mantan menteri pariwisata Israel Binyamin Elon, yaitu Rencana Perdamaian Elon. Rencana ini populer di kalangan sayap kanan Israel mendukung perluasan Israel hingga mencapai Sungai Yordan dan "pengakuan dan pengembangan Yordania sebagai Negara Palestina".

RAND telah mengusulkan solusi berjudul "The Arc" di mana Tepi Barat bergabung dengan Gaza dalam busur infrastruktur. Rencana pembangunan mencakup rekomendasi dari perencanaan sipil tingkat rendah hingga reformasi perbankan dan reformasi mata uang.

Rencana lain yang mendapat dukungan adalah di mana Jalur Gaza diberikan kemerdekaan sebagai enklave atau daerah kantong Palestina, dengan bagian Tepi Barat terbagi antara Israel dan Yordania masing-masing. Masalah Yerusalem dapat ditangani oleh administrasi oleh pihak ketiga seperti PBB seperti yang dikemukakan dalam rencana pembagian awal mereka.Pihak yang mengakui entitas Palestina yang terpisah dari Israel.

Ada laporan yang saling bertentangan tentang jumlah negara yang memperluas pengakuan mereka ke Negara Palestina yang diproklamasikan.

Dalam Permintaan Penerimaan Negara Palestina ke UNESCO mulai 12 Mei 1982, beberapa negara Arab dan Afrika memberikan daftar 92 negara yang diduga telah memperpanjang pengakuan tersebut. Dalam dokumen yang sama (Corrigendum 1), diminta agar Austria dihapus dari daftar. Namibia terdaftar walau tidak independen pada saat itu. Daftar ini juga mencakup sejumlah besar negara bagian yang tidak ada lagi selama tahun 1990-an, terutama Republik Demokratik Jerman, Yugoslavia, Cekoslowakia, Yaman Selatan, Republik Rakyat Kamboja (hari ini: Kamboja) dan Zaire (hari ini: Republik Demokratik Kongo). 

Pada tanggal 13 Februari 2008, Menteri Luar Negeri Otoritas Palestina mengumumkan bahwa dia dapat memberikan dokumen untuk pengakuan 67 negara di Negara Palestina yang diproklamirkan.

Negara-negara yang ada yang diketahui telah memperluas pengakuan tersebut mencakup sebagian besar negara Liga Arab, sebagian besar negara Afrika, dan beberapa negara Asia, termasuk Tiongkok dan India.

Banyak negara, termasuk negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Israel mengakui Otoritas Palestina yang didirikan pada tahun 1994, sesuai dengan Persetujuan Damai Oslo, sebagai entitas geopolitik otonom tanpa memperluas pengakuan kepada Negara Palestina yang diproklamasikan pada tahun 1988. Palestina merupakan sebuah negara di Asia Barat yang sampai saat ini belum diakui kedaulatannya. Palestina pernah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 15 November 1988.

Sejak Olimpiade Musim Panas 1996, Komite Olimpiade Internasional telah mengakui Komite Olimpiade Palestina dan tim Palestina yang terpisah. Dua atlet track & field, Majdi Abu Marahil dan Ihab Salama, bersaing memperebutkan tim perdana Palestina.

Sejak tahun 1998, badan sepak bola dunia FIFA telah mengakui tim sepak bola nasional Palestina sebagai entitas yang terpisah. Pada tanggal 26 Oktober 2008 Palestina memainkan pertandingan pertamanya, bermain imbang 1-1 melawan Yordania di Tepi Barat.

Pada Desember 2010-Januari 2011 Brasil, Argentina, Chili, Uruguay, Bolivia, dan Paraguay mengakui negara Palestina.

Pada 18 Januari 2011, Rusia menegaskan kembali (pertama kali 1988) dukungan dan pengakuannya terhadap negara Palestina.

Pada Januari 2011, Irlandia meningkatkan delegasi Palestina di Dublin menjadi status sebuah misi.

Pada Juli 2011, Gerakan Solidaritas Sheikh Jarrah mengorganisir pawai protes di Yerusalem Timur, dengan sekitar 3.000 orang berpartisipasi, membawa bendera Palestina dan mengulangi slogan-slogan yang mendukung deklarasi kemerdekaan sepihak oleh Otoritas Palestina.

Per Oktober 2023, 138 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengakui Negara Palestina. Namun, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, Jepang, Korea Selatan, dan Britania Raya, tidak mengakui Palestina sebagai sebuah negara.

Palestina setelah menjadi negara anggota UNESCO pada tahun 2011. Pada awalnya, perundingan damai yang telah berlangsung selama dua dekade telah gagal menciptakan perdamaian antara Palestina dan Israel. Kemudian melalui kebijakan unilateral, Palestina mengajukan permohonan keanggotaaan penuh di PBB. Akan tetapi, Amerika Serikat mengancam akan menggunakan hak veto untuk menolak permohonan tersebut. Sehingga Palestina menggunakan tindakan unilateral lainnya untuk mengajukan permohonan keanggotaan penuh di salah satu badan khusus PBB, yaitu UNESCO dan secara resmi menjadi anggota penuh pada oktober 2011. Kemenangan Palestina di UNESCO memberikan beberapa implikasi terhadap pencapaian kepentingan nasional Palestina. Tahun 2012 PBB meningkatkan status Negeri Palestina menjadi negara pengamat.

Secara bilateral, Palestina terus berupaya untuk menggalang pengakuan dari berbagai negara. Hingga 14 September 2015, tercatat 136 negara dari 193 anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara.

Di Eropa, pengakuan dan dukungan terhadap Palestina pun semakin meningkat. Sebanyak 7 parlemen negara Eropa (Inggris, Irlandia, Spanyol, Perancis, Portugal, Luxemburg, dan Belgia) ditambah Parlemen Uni Eropa telah mengeluarkan mosi rekomendasi kepada pemerintah masing-masing untuk mengakui Negara Palestina. Sebanyak 9 dari 28 negara anggota Uni Eropa juga telah mengakui Negara Palestina (Malta, Siprus, Ceko, Slovakia, Hungaria, Rumania, Bulgaria, Polandia dan Swedia).

Sedangkan pada forum multilateral, pada tanggal 29 November 2012, Palestina resmi disahkan sebagai non-member observer statePBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 67/19 (Indonesia sebagai co-sponsor resolusi). Hal ini memiliki arti simbolis sekaligus strategis bagi Palestina, yaitu menunjukkan pengakuan dunia internasional atas statehood Palestina, dan memberikan kesempatan bagi Palestina untuk berperan aktif dalam pelbagai forum PBB, termasuk aktif dalam pemilihan tertentu.

Lebih lanjut, pada tanggal 30 September 2015, bendera Palestina juga secara resmi berkibar di Markas Besar PBB di New York, berkat dukungan mayoritas negara-negara anggota PBB.

Palestina juga merupakan anggota UNESCO sejak tahun 2011, INTERPOL sejak 2017, dan Organisation for the Prohibition of Chemical Weapon (OPCW) sejak Mei 2018.

Tantangan Berat Penyelesaian Konflik Palestina-Israel

Dunia internasional hingga saat ini masih terus mendorong terwujudnya solusi damai antara Palestina dan Israel yang berdasarkan utamanya pada prinsip “two-state solution", sebagaimana telah diterima oleh komunitas internasional dan dimandatkan dalam pelbagai resolusi Majelis Umum (MU) dan Dewan Keamanan (DK) PBB.

Namun berbagai tantangan semakin menghadang perjalanan proses perdamaian diantara keduanya.

Tidak dapat dipungkiri, Israel masih terus mencaplok wilayah Palestina dengan menghancurkan rumah warga Palestina untuk perluasan pembangunan pemukiman (settlement) di Tepi Barat, sekalipun tindakan tersebut ilegal dan bertentangan dengan Resolusi DK PBB No. 2334 (2016).  

Sementara itu, Amerika Serikat (AS) yang dikenal turut aktif dalam proses perdamaian Palestina-Israel, pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump ini tidak lagi bertindak sebagai honest broker dalam mengupayakan solusi damai. AS secara unilateral pada tanggal 6 Desember 2017 telah mengumumkan keputusannya untuk mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel, dan telah diikuti dengan pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem tepat pada tanggal 14 Mei 2018 dengan menempati gedung di dalam kompleks Konsulat Jenderal AS di daerah Arnona, Yerusalem Barat. Pengakuan Jerusalem sebagai ibukota Israel dan pemindahan kedutaan tersebut merupakan realisasi salah satu janji kampanye Presiden Donald Trump pada tahun 2016 silam.

Tindakan sepihak AS tersebut sangat menyimpang dari prinsip “two-state solution" dan semangat damai dalam pelbagai resolusi MU dan DK PBB yang dikeluarkan sejak tahun 1948, dan dinilai akan merusak proses perundingan damai di Timur Tengah pada umumnya serta perundingan antara Palestina-Israel pada khususnya, mengingat pengakuan tersebut memberikan keberpihakan bagi Israel dalam melakukan perundingan di masa mendatang vis-a-vis Palestina.

Terlebih lagi, tindakan AS telah mengganggu “status quo" Jerusalem dimana masyarakat internasional dan pelbagai resolusi MU dan DK PBB menegaskan bahwa status dan batas-batas Jerusalem yang diklaim kedua pihak akan menjadi subjek perundingan langsung antara Palestina dan Israel.

Keputusan AS untuk mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel belakangan ini telah meluas ke negara besar lain, yakni Australia yang pada tanggal 15 Desember 2018 telah menyampaikan pengakuan formalnya terhadap Jerusalem Barat sebagai ibukota Israel. Meski memberikan pengakuan tersebut, namun Australia baru akan memindahkan Kedutaan Besar Australia di Tel Aviv setelah status final Jerusalem ditentukan melalui perundingan damai antara Palestina dan Israel.  

Tantangan berat lainnya adalah kebijakan AS untuk menghentikan seluruh bantuannya kepada United Nations on Relief and Works Agency for Palestine Refugees (UNRWA). Pada tahun 2017 AS merupakan donor terbesar UNRWA dengan kontribusi sebesar USD 364 juta. Penghentian bantuan AS mengakibatkan kesulitan besar bagi UNRWA untuk menjalankan program-programnya bagi pengungsi Palestina yang tersebar di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, dan Gaza. Dampak drastis akan terasa di bidang pendidikan di mana +511.000 anak-anak Palestina sedang mengikuti pendidikan di +645 sekolah UNRWA, serta pada pelayanan kesehatan melalui +130 klinik untuk melayani +8,5 juta pasien.

Selain itu, patut dicatat pula habit aparat keamanan Israel yang kerap melakukan kekerasan terhadap warga Palestina yang salah satunya dilakukan saat aksi demonstrasi dalam rangka memperingati Hari Tanah (The Land Day) pada tanggal 30 Maret 2018. Demonstrasi berakhir dengan bentrokan antara warga Gaza dengan tentara Israel. Tentara Israel melepaskan peluru tajam dan gas air mata untuk membubarkan massa, yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan. Terhitung sejak akhir Maret – Juni 2018, total warga Palestina di Jalur Gaza yang tewas oleh aparat Israel lebih dari 120 warga dan lebih dari 13.190 orang lainnya menderita luka berat atau ringan.

Peran Indonesia di

Konflik Palestina-Israel senantiasa mendapatkan perhatian khusus dalam setiap aktifitas dan politik luar negeri Indonesia, termasuk diplomasi Indonesia pada forum bilateral maupun multilateral.

Indonesia konsisten menyuarakan hak-hak rakyat Palestina, termasuk mendorong berdirinya negara Palestina yang merdeka, demokratis, sejahtera, dan hidup berdampingan secara damai dengan Israel dibawah prinsip “two-state solution", terlebih dalam setiap kesempatan Indonesia menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB.

Indonesia juga selalu mendorong agar DK PBB mengeluarkan keputusan yang produktif bagi penyelesaian masalah Palestina sebagai cerminan tanggung jawab DK PBB sebagai organ utama PBB yang mengurusi pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional,"tutupnya.(Aji S)



   

Tidak ada komentar: