Presiden RI Menganugerahkan Gelar 6 Pahlawan Nasional 2023
Suarabamega25.com, Jepara - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2023 kepada enam tokoh di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Keenam tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional dalam rangka Hari Pahlawan Tahun 2023 tersebut adalah:
1. Almarhum Ida Dewa Agung Jambe, tokoh dari Provinsi Bali;
2. Almarhum Bataha Santiago, tokoh dari Provinsi Sulawesi Utara;
3. Almarhum Mohammad Tabrani, tokoh dari Provinsi Jawa Timur;
4. Almarhumah Ratu Kalinyamat, tokoh dari Provinsi Jawa Tengah;
5. Almarhum K.H. Abdul Chalim, tokoh Provinsi dari Jawa Barat; dan
6. Almarhum K.H. Ahmad Hanafiah, tokoh dari Provinsi Lampung.
Penganugerahan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 115/TK/Tahun 2023 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 6 November 2023.
“Sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa,” bunyi kutipan Keppres.
Ratu Kalinyamat, tokoh Retno Kencono Pahlawan Nasional dari Jepara. Ia adalah seorang tokoh wanita pemimpin rakyat Jepara abad ke-16 yang dikenal dengan Ratu Kalinyamat. Bernama asli Retno Kencono, dia adalah cucu dari Sultan Fatah, pendiri kerajaan Demak. Ia putri dari Sultan Trenggono, raja Demak (1521-1546). Pada usia remaja ia dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat.
Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Jawa. Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian berguru pada Sunan Kudus.
Meskipun kisah tentang kehidupannya selama ratusan tahun terdistorsi oleh kisah yang tidak bisa menjadi rujukan sejarah, karena bersumber dari cerita babad yang ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, dan hanya terfokus pada kisah konflik internal perebutan tahta Demak sepeninggal kematian ayahnya, Sultan Trenggana serta kisah dendamnya kepada Arya Penangsang karena kematian suaminya.
Untungnya, kisah tentang kepahlawanannya yang ditulis saat masa hidupnya oleh para juru tulis dari Portugis ditemukan sehingga bisa menguak bagaimana hebatnya Ratu Kalinyamat dalam memimpin ribuan prajurit berperang melawan kolonial Portugis.
Seorang penulis, Manuel Faria e Sousa dalam bukunya menulis saat Ratu Kalinyamat tahun 1551 mengirim ratusan kapal menyerang Portugis yang menguasai Malaka : "Allilo moftra fpn los Reyes de Pera, Pan, Marruaz, y la Reyna de la* paraen lalava. Entrava lunio quando de todaefta liga fe vieron correr por el agua más de dozientos navios con más de diez mil hombres"
Artinya : "Bersekutulah para raja dari Pera, Pao, Marruas dengan Ratu Jepara dari Jawa. Persekutuan itu membentuk armada di lautan dengan 200 kapal dan lebih dari 10.000 orang."
Selain mengirim serangan ke Malaka, Ratu Kalinyamat pada tahun 1564 juga mengirim ratusan kapal untuk menyerang Portugis yang sudah menguasai Hitu, di Maluku sebagaimana tertulis dalam sebuah kronik berjudul Residencia das Moluccas.
Kemudian, pada tahun 1573, Ratu Kalinyamat mengirim serangan ke Malaka, kali ini dengan 15.000 orang pasukan terbaik dengan total 300 kapal perang. Perang yang hebat pun terjadi dan membuat Portugis kewalahan.
Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah bersama di Jepara. Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat, dijadikan patih bergelar Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.
Kematian Pangeran Kalinyamat
Pada tahun 1549 Sunan Prawata raja keempat Demak mati dibunuh utusan Arya Penangsang, sepupunya yang menjadi adipati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun berangkat ke Kudus minta penjelasan.
Sunan Kudus adalah pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal raja Trenggana (1546). Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Sunan Kudus menjelaskan semasa muda Sunan Prawata pernah membunuh Pangeran Surowiyoto alias Sekar Seda Lepen ayah Arya Penangsang, jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal.
Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.
Menurut cerita. Selanjutnya dengan membawa jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian dikenal daerah tersebut dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat, dan dalam kondisi lelah, kemudia melewati Pringtulis. Dan karena selahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong) di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Mayong. Sesampainya di Purwogondo, disebut demikian karena di tempat inilah awal keluarnya bau dari jenazah yang dibawa Ratu Kalinyamat, dan kemudian melewati Pecangaan dan sampai di Mantingan.
Beberapa kali Ratu Kalinyamat dikepung musuh untuk dibunuh, namun sang Ratu berhasil meloloskan diri dari peristiwa pembunuhan itu. Ia kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja, dengan sumpah tidak akan berpakaian sebelum berkeset kepala Arya Penangsang. Penulis-penulis Jawa jaman dulu sering menggunakan tamsil atau perumpamaan. cerita Ratu Kalinyamat bertapa telanjang ini juga bukan aslinya, tapi menggambarkan Ratu Kalinyamat bersumpah hidup prihatin sampai Arya Penangsang yang membunuh suaminya dihukum mati.
Ratu Kalinyamat kembali menjadi bupati Jepara. Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, wilayah Demak, Jepara, dan Jipang menjadi bawahan Pajang yang dipimpin raja Hadiwijaya. Meskipun demikian, Hadiwijaya tetap memperlakukan Ratu Kalinyamat sebagai tokoh senior yang dihormati.
Ratu Kalinyamat sebagaimana bupati Jepara sebelumnya (Pati Unus), bersikap anti terhadap Portugis. Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu.
Pasukan Jepara itu kemudian bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Namun Portugis berhasil membalasnya. Pasukan Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur, sementara pasukan Jepara masih bertahan.
Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Pertempuran selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut yang menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai datang menerjang sehingga dua buah kapal Jepara terdampar kembali ke pantai Malaka, dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang berhasil kembali ke Jawa tidak lebih dari setengah dari yang berhasil meninggalkan Malaka.
Ratu Kalinyamat tidak pernah jera. Pada tahun 1565 ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsa Portugis dan kaum Hative.
Pada tahun 1564, Sultan Alauddin Al - Qahhar dari Kesultanan Aceh meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Saat itu Demak dipimpin seorang bupati yang mudah curiga, bernama Arya Pangiri, putra Sunan Prawata. Utusan Aceh dibunuhnya. Akhirnya, Aceh tetap menyerang Malaka tahun 1567 meskipun tanpa bantuan Jawa. Serangan itu menemui jalan buntu
Pada tahun 1573, sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk menyerang Malaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba di Malaka bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukan Aceh sudah dipukul mundur oleh Portugis.
Pasukan Jepara yang terlambat datang itu langsung menembaki Malaka dari Selat Malaka. Esoknya, mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi akhirnya, pertahanan itu dapat ditembus pihak Portugis. Sebanyak 30 buah kapal Jepara terbakar. Pihak Jepara mulai terdesak, tetapi tetap menolak perundingan damai karena terlalu menguntungkan Portugis. Sementara itu, sebanyak enam kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat direbut Portugis. Pihak Jepara semakin lemah dan memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar sepertiga saja yang tiba di Jawa.
Meskipun dua kali mengalami kekalahan, tetapi Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya seorang wanita yang gagah berani. Bahkan Portugis mencatatnya sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame, yang berarti "Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani".
Ratu Kalinyamat meninggal dunia sekitar tahun 1579.
Ia dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara.
Semasa hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga orang pemuda. Yang pertama adalah adiknya, yaitu Pangeran Timur Rangga Jumena putera bungsu Trenggana yang kemudian menjadi bupati Madiun. Yang kedua adalah keponakannya, yaitu Arya Pangiri, putra Sunan Prawata yang kemudian menjadi bupati Demak. Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya, yaitu Pangeran Arya Jepara putra Ratu Ayu Kirana (adik Trenggana).
Ayah Pangeran Arya Jepara adalah Maulana Hasanuddin raja pertama Banten. Ketika Maulana Yusuf raja kedua Banten meninggal dunia tahun 1580, putra mahkotanya masih kecil. Pangeran Arya Jepara berniat merebut takhta. Pertempuran terjadi di Banten. Pangeran Jepara terpaksa mundur setelah ki Demang Laksamana, panglimanya, gugur di tangan patih Mangkubumi Kesultanan Banten.(Aji)
Tidak ada komentar: