Header Ads

Header Ads
Selamat Datang di Website www.suarabamega25.com " KOMITMEN KAMI MEMBANGUN MEDIA YANG AKURAT DAN BERMANFAAT BAGI MASYARAKAT " Alamat Redaksi Jl. Berangas KM. 2.5 No. 20 RT. 05 Desa Batuah Kotabaru Kalsel, Contact Mobile : 0812-5317-1000 / 0821-5722-6114.

Tokoh Agama Gelar Dialog Terkait Mencari Pemimpin, Perspektif Agama


Suarabamega25.com, Banjarmasin, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalimantan Selatan, Selasa, 28 Mei 2024, bertempat di Aula Sastro Hardjo RRI Banjarmasin, menggelar diskusi Theologis dengan tema “Mencari Pemimpin, Perspektif Agama-agama”, menghadirkan Tokoh Agama Islam, yaitu Drs. M. Ilham Masykuri Hamdie, MA, selaku Ketua FKUB Kalimantan Selatan, Ida Rsi Wiswamitra Pawitra Putera selaku Pandhita dan Tokoh Agama Hindhu, serta Pendeta Wahyudi, S.Th dari PGIW Kalimantan Selatan. 


Kegiatan Diskusi dihadiri para Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Pegiat Kerukunan Beragama, dipandu Moderator Noorhalis Majid, Ketua Bidang Dialog FKUB Kalimantan Selatan. 


Dalam paparannya,  Ida Rsi Wiswamitra Pawitra Putera, mengapresiasi kegiatan yang diselenggarakan Bidang Dialog FKUB Kalimantan Selatan. Ida Rsi mengatakan, kegiatan seperti ini harus sering diselenggarakan, agar bisa memberikan pencerahan kepada Umat Beragama. Tidak perlu pesimis bahwa kegiatan ini tidak bermakna atau tidak memberi manfaat bagi kemajuan demokrasi. Bermanfaat atau tidak, kalau sering diselenggarakan, maka kekuatan Kelompok Agama, akan memberi perubahan. Kalau tidak bisa turut memajukan demokrasi, minimal FKUB telah menyelenggarakan dialog antar umat beriman, sehingga di antara kita bisa saling meningatkan. 


Bagaimana kriteria Pemimpin yang kita cari? Menurut ajaran Hindhu, Pertama; kita harus mencari pemimpin yang memiliki iman, percaya akan adanya Tuhan, dan tentu saja seorang yang tekun menjalankan ibadahnya. 


Kedua; seorang yang berani menyongsong masa depan. Segala perubahan yang pasti terjadi, harus berani dijawab dan dihadapi. Bukan menghindarinya atau lari meninggalkannya. Pemimpin harus memiliki keberanian menjawab tantangan masa depan.


Ketiga; Seorang Pemimpin haruslah cerdas dalam menyikapi berbagai perubahan. Berarti haruslah memiliki pendidikan dan pengetahuan yang cukup, karena tugasnya mengelola serta memimpin semua orang.


Keempat; mesti tegas dan teguh dalam pendirian, tidak plin-plan dalam mengambil keputusan. Seorang yang tidak memiliki ketegasan, akan dianggap lemah dalam memimpin, bahkan boleh dianggap tidak mampu. 


Kelima; Seorang Pemimpin tentu harus jujur atau Satyawacana dalam sikap dan perbuatan. Bahkan kejujuran adalah kunci dari segalanya. Bila sedikit saja tidak jujur, maka sulit untuk membangun kesejahtraan bersama. Paling-paling hanya untuk kesejahtraan dirinya sendiri.


Keenam; Pemimpin itu hendaknya welas asih, peka terhadap penderitaan Masyarakat. Tahu keadaan Masyarakat yang sebenarnya, dan turut merasakan karena mengetahui keadaan sesungguhnya dari masyarakat.


Ketujuh; Pemimpin itu haruslah adil. Untuk dapat menegakkan keadilan, hukum harus ditegakkan. Dengan keadaan hukum yang tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas, semua masyarakat terlindungi dan mendapat perlakuan adil.


Dalam cerita Sri Rama, disebutkan tentang astrabrata Kepemimpinan, yaitu 8 tugas Kepemimpinan yang harus dimilliki oleh seorang Calon Pemimpin, antara lain:

Indrabarata, yang berarti hujan; Seorang Pemimpin itu harus seperti air hujan yang memberikan kesuburan bagi semua makhluk hidup, bermanfaat bagi semua orang dan menghidupi;

Yamabrata, memberi keadilan; Seorang Pemimpin haruslah mampu berlaku adil kepada siapapun, tidak boleh ada yang merasa disingkirkan, didiskriminasi;

Suryabrata, berarti matahari; layaknya matahari harus mampu memberikan sinarnya kepada siapapun. Semua mendapatkan pencerahan dan sinar, serta semua merasakan energi yang sama, layaknya matahari yang menyinari semua makhluk tanpa kecuali;

Candrabrata, artinya rembulan, mampu menerangi kegelapan dan menyejukkan. Pada saat situasi gelap gulita, atau keputusasaan, pemimpin memberikan harapan dalam bentuk cahaya;

Bayubrata, yaitu angin. Tidak ada tempat yang tidak mampu diisi oleh angin. Bagaimanapun bentuknya, selalu ada angin. Begitu juga seorang pemimpin, mengisi seluruh tempat tanpa kecuali dan tentu memberikan kesejukkan;

Bumibrata, artinya teguh, kokoh lagi menghidupi. Mampu memenuhi segala yang membutuhkan. Memberikan penghidupan kepada siapapun;

Barunabrata, yaitu ketuhanan. Seorang Pemimpin haruslah yang meyakini adanya Tuhan yang mengantur segalanya, dan dengan demikian yakin akan ada perhitungan baik dan buruk (karmapala), karenanya yang percaya Tuhan tidak akan berlaku sesukanya;

Angnibrata, berarti api, mampu memberi semangat yang membara kepada Masyarakatnya. Bila Masyarakat putus asa, loyo, pada saat pemimpin datang, kembali bersemangat dan memberikan kekuatan dan motivasi;


Dengan menjalankan tugas sebagaimana yang diajarkan Sri Rama, maka “kesejahtraan dan kebahagiaan rakyat adalah kesejahtraan dan kebahagiaan Pemimpin”. Target dan tujuan pemimpin untuk mensejahtrakan dan membahagiakan rakyatnya, karena itu menjadi kebahagiaan bagi dirinya sendiri. 


Sementara itu, Pdt. Wahyudi, S.Th, selaku Wakil Sekretaris PGIW Kalsel, mengatakan bahwa memilih pemimpin berdasarkan iman Kristen, juga kurang lebih sama sebagaimana agama lainnya, yaitu ingin pemimpin yang jujur dan adil. Disadari bahwa setiap manusia memiliki kelemahan, yaitu dosa, karena itu agar tidak terjebak dalam dosa maka dia harus beriman.


Yesus mengajarkan, pilih Pemimpin berdasarkan karakternya. Hal tersebut dicontohkannya ketika ia memilih Murid-muridnya. Dia memilih bukan karena kepintaranya, atau karena kekayaannya, namun karakterlah yang menjadi pertimbangan. 


Karaker menjadi modal utama bagi Seorang Pemimpin. Walau pintar tapi tidak berkarakter atau tidak bermoral, maka akan menjadi persoalan. Setelah tahu karakternya bagus, barulah yang lainnya dibentuk, dengan cara diberikan pembekalan dan pelatihan. 


Yesus juga memberikan contoh bahwa memimpin tidak perlu dengan tangan besi, namun dengan ketauladanan, contoh baik dan kasih sayang. Bukan mempin dengan otoriter, sekehendak hati. Memimpin dengan hanya mementingkan diri dan kelompoknya saja. Pemimpin yang demokratis, mampu menempatkan dirinya sebagai katalisator. 


Drs. M. Ilham Masykuri Hamdie, MA, selaku Ketua FKUB Kalsel, bercerita bahwa pagi tadi ia menonton Metro TV, dalam tayangkan tersebut menyampaikan tajuknya soal pemilu 2024, berdasarkan pendapat banyak pengamat dan ahli, ia menyimpulkan bahwa Pileg dan Pilpres yang baru saja berlangsung, merupakan Pemilu paling buruk sepanjang sejarah Indonesia. Pertanyaan yang dilontarkan dalam tajuk tersebut, apakah Pilkada bisa memperbaiki dan menutupi keburukan tersebut, atau sebaliknya mengulang keburukan yang sama?


Secara normatif, perspektif Agama terkait Pemimpin tentu saja sama, karena sumbernya juga sama. Hanya proses penyampaian sumber tersebut yang berbeda-beda. Pun penggunaan Bahasa dalam menyampaikan sumber yang juga berbeda. Terkait pespektif agama soal pemimpin, dari mana hal tersebut lahir?, semuanya bersumber dari Tuhan yang sama.


Pemimpin itu menurut Ibnu Taimiyah, hanya ada 2, yaitu dari kalangan penindas dan dari yang tertindas atau menjadi sang pembebas. Firaun itu penindas dan Musa itu dari kalangan tertindas dan pembebas. Karena itu yang dilihat dari seorang Pemimpin adalah apakah dia seorang yang sudah teruji atau belum, semua itu dapat dilihat dari rekam jejaknya. Ibarahim, Ishak, Ismail, memberikan gambaran tentang para pemimpin yang teruji rekam jejaknya melalui berbagai peristiwa yang menyebabkan dia layak sebagai pemimpin. Imam itu, sebagaimana disampaikan Pdt Wahyudi, haruslah seorang yang bisa mengembala. 


Ibnu Taimiyah lahir dan menyampaikan pemikirannya tentang kepemimpinan, ketika Islam berada di ujung tanduk. Kata-kata Ibnu Taimiyah yang terkenal “Allah akan menolong sebuah negara yang dikelola secara adil walau dipimpin oleh seorang yang kafir. Sebaliknya, Allah tidak akan menolong negara yang zalim, sekali pun dipimpin oleh seorang muslim”. 


Pertanyaannya, ketika kita bicara hal-hal yang bersifat theologis, bagaimana menurunkannya dalam dunia praktis. Untuk menurunkan yang theologis tersebut, saya meminjam pemikiran Ibnu Khaldun. Ia mengatakan, agama mestinya menjadi kekuatan politik. Ibu Khaldun kemudian mengenalkan apa yang disebut dengan “asabiyah”, yang bermakna solidaritas sosial, atau dukungan banyak pihak. Mustahil orang baik akan bekerja sendirian. 


Sebaik apapun karakternya, ketika dia hanya bekerja sendirian maka akan kalah. Karena itu diperlukan asabiyah, kebersamaan untuk mendukung orang baik agar tidak bekerja sendiri, tapi dibantu dengan berbagai potensi sehingga menjadi kekuatan yang dapat melakukan berbagai perubahan. 


Daniel Dhakidae, Seorang Theolog yang keluar dari cangkangnya dan melakukan berbagai pengembaraan intelektual, sehingga menjadikan dia seorang yang sangat berbakat, terutama dalam bahasa dan kemampuan intelektual. Hal tersebut diakui oleh Mochtar Pabottingi, yang memuji Daniel setara dengan Cak Nur, terutama dalam soal penguasaan bahasa dan pengetahuan. 


Daniel mengatakan, Negara dan Agama itu sama-sama mempunyai klaim kebenaran dan klaim kekuasaan.  Negara berada diantara ruang theology dan ruang sekuler. Daniel meminjam pendapatnya Alvin Gouldner, seorang sosiolog Amerika yang mengatakan “Kaum Intelektual terdiri dari ‘kelas imansipatoris’ baru. Kaum Intelektual ini boleh dibilang para Cendekiawan yang dapat memengaruhi dan membentuk keadaan, apakah menjadi lebih baik atau lebih buruk.  Daniel juga merujuk pada pendapatnya Julien Benda, seorang filsuf Prancis yang menceritakan tentang penghianatan kaum cendekiawan. Jadi menurut Benda, kalau hanya mengandalkan kepintaran, tidak didasari integritas dan jejak rekam yang baik, kaum cendekiawan sangat mungkin menjadi penghianat dan justru sangat berbahaya.


Tidak ada jalan lain kecuali kembali pada apa yang dikatakan Ibnu Khaldun, yaitu asabiyah, meminta dukungan banyak pihak. Asabiyah itu boleh jadi bentuknya adalah masyarakat sipil, yang terdiri dari berbagai elemen dan usur, yang memiliki tujuan yang sama dalam rangka membangun demokrasi. 


Wujud dari Masyarakat Sipil tersebut bisa saja dalam bentuk ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan bentuk-bentuk ormas keagamaan lainnya yang mewadahi semua elemen masyarakat dan memiliki tujuan untuk melakukan berbagai perbaikan serta perubahan. 


Sejumlah Tokoh yang hadir dalam diskusi tersebut menyampaikan pertanyaan dan tanggapannya. DR. H. Mirhan, mantan Dekan Ushuludin UIN Antasasi, mengatakan bahwa tujuan kepemimpinan hanya ada dua, yaitu bagaimana mewujudkan keamanan dan kesejahtraan bersama. Pertanyaannya, bagaimana secara theologis soal kepemimpinan perempuan? 


Fahriansyah, utusan dari Muhammadiyah, berpendapat bahwa Pemimpin yang dibutuhkan adalah yang mampu mensejahtrakan Masyarakat, melayani dengan sepenuh hati dan bertujuan untuk memajukan daerah. Tapi bagaimana hal tersebut dapat terjadi, kalau cara memperoleh jabatan kepemimpinan itu sendiri dilakukan dengan cara curang. Bahkan ada semacam pembenaran terhadap tindak kecurangan dengan mengatakan, silahkan saja curang asal jangan ribut. 


DR. Wahyudin, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Antasari, mengutarakan hasil penelitiannya tentang karakteristik orang Banjar, bahwa orang Banjar memiliki kriteria terkait karakter Pemimpin. Untuk memilih pemimpin tidak terlepas berbagai budaya yang melatarinya. Termasuk budaya bubuhan, kalau Sudah menyangkut bubuhan, maka akan lahir solidaritas. Ulama juga sangat menentukan terkait pilihan Pemimpin, siapa yang mendapat restu ulama, berpeluang jadi Pemimpin. Hanya saja, semua calon ternyata mendatangi semua ulama. Terkait ‘moral’, menjadi perhatian tersendiri bagi orang Banjar dalam menentukan pemimpin. Sedikit saja bermasalah terkait moral, maka akan muncul resistensi. Hanya saja, sekarang ini politik uang merubah segalanya, sehingga konsep bubuhan, ulama dan moral, tergerus oleh money politik. 


DR. Abrani Sulaiman, Rektor UNU Kalimantan Selatan, mengutarakan bahwa melihat situasi politik seperti sekarang ini, sebenarnya kita hampir skeptis. Pemimpin itu wajib ada, tapi karena keadaannya demikian, akhirnya kita membiarkan saja semua terjadi dan lahirlah pemimpin dengan berbagai karakternya. Apalagi ketika pemimpin harus melalui partai politik, sementara partai politik tidak pernah melakukan pengkaderan dan pendidikan politik, akhirnya tidak banyak yang bisa diharapkan.  Untuk bisa menghidupkan masyarakat sipil, tidak ada pilihan kecuali kita semua sering-sering melakukan diskusi seperti ini, berkumpul untuk membicarakan berbagai hal sehingga diharapkan menjadi kekuatan yang dapat mengubah keadaan. 


DR. Werhan Asmin, dosen hukum dan tokoh agama Kristen, menceritakan pengalamannya, bahwa sekarang ini pemilihan pemimpin pada tingkat lokal, sangat diwarnai oleh money politik. Rasanya, hampir semua yang terpilih menggunakan politik uang, sehingga sulit bagi kita menuntut sebagaimana kriteria yang sudah disampaikan. Pilkada ini juga demikian. Sejak awal, mulai dari persyaratan sudah membutuhkan uang yang tidak sedikit, karena syaratnya dibuat sulit, sehingga hanya yang memiliki duit yang mampu memenuhi syarat tersebut. 


Seorang Romo utusan dari Keusukupan Banjarmasin, berpendapat bahwa kita semua yang menjadi tokoh agama adalah orang-orang yang dipilih Tuhan untuk menjadi jembatan. Setiap kita harus bekerjasama satu dengan lainnya. Saya teringat cerita tentang Sukarno yang dibantu Sultan Hamengkubuwono IX sebesar 6,5 juta golden untuk dapat menjalankan roda pemerintahan, ketika awal Indonesia merdeka. Bantuan tersebut merupakan modal awal bagi pemerintahan untuk bergerak. Seadainya tidak ada modal awal tersebut, tentu sangat sulit bagi Sukarno untuk melakukan berbagai hal. Bagi kita tokoh agama, tentu tidak memiliki modal sebagaimana bantuan Sultan kepada Sukarno, tapi kita memiliki hal lain, yaitu doa. Mari kita jadikan doa sebagai gerakan dalam melakukan perubahan.

Atas banyaknya tanggapan peserta, tiga narasumber yang mewakili tiga agama berbeda tersebut, memberikan jawabannya:

Ida Rsi Wiswamitra Pawitra Putera, berharap kegiatan ini tidak hanya sampai di sini saja, tapi harus dilanjutkan dengan forum-forum lainnya agar bisa melakukan perubahan. Melibatkan berbagai unsur lainnya yang terkait, dan terus meningkatkan kemampuan serta wawasan, sehingga dapat bersama-sama melakukan perubahan.  

Sementara Pdt Wahyudi, S.Th, membenarkan soal money politik memang sangat dahsyat, sehingga kawan dia yang mencoba mengajukan diri sebagai calon Pilkada, dikarenakan tidak memiliki uang, hingga tiga kali tidak juga kunjung dipilih. Yang terpilih adalah yang memiliki banyak uang, bukan yang memiliki kemampuan dan integritas. Padahal, ketika dia memberikan uang, pasti ujungnya akan mencari ganti dari uang yang sudah dikeluarkan. Akhirnya korupsi terjadi dan pemerintahan dikelola tidak dengan cara semestinya. 

Drs. M. Ilham Masykuri Hamdie, MA, mengatakan bahwa agamawan atau para pemikir, harus mau dan mampu menarik gerbong besar untuk melakukan berbagai perubahan. Terkait apakah perempuan boleh sebagai pemimpin pemerintahan, saya ini pertanyaan lama yang sering diulang dan jawabkan tentu saja sudah banyak perempuan  menjadi pemimpin, sehingga boleh jadi sudah tidak relevan untuk ditanyakan, termasuk secsara theologis. Tapi tentu saja hal tersebut dapat menjadi permainan politik yang dapat digoreng sedemikian rupa. 

Para Pemimpin akan mampu menjalankan tugasnya, bila sudah selesai dengan dirinya. Tapi bila masih memikirkan dirinya sendiri, keluarganya, kelompoknya, maka sulit baginya untuk membawa gerbong besar menuju perubahan. 

Bagi kita agamawan, dari sejumlah hal yang sudah disampaikan, mari melakukan re-interpretasi terhadap berbagai konsep tersebut, sehingga dapat dirasakan dan dibutuhkan, walau kondisi zaman dan keadaan sudah berubah. Termasuk dengan menguatkan masyarakat sipil, terutama yang berbasis pada keagamaan. (nm)

Tidak ada komentar: